angginews.com Tahun 2025 telah membuka babak baru dalam perjalanan kebijakan ekonomi dunia. Setelah melalui fase pelonggaran besar-besaran pada era pandemi dan kemudian transisi ke fase normalisasi yang hati-hati, kini pertanyaan besar muncul: Apakah 2025 adalah tahun kembalinya pengetatan moneter secara global?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menelusuri serangkaian dinamika ekonomi makro, mulai dari laju inflasi, arah suku bunga, hingga keputusan bank sentral utama dunia seperti The Fed, ECB, BoJ, hingga Bank Indonesia.
Pasca Pandemi: Jalan Berliku Kebijakan Moneter
Sejak pandemi COVID-19 merebak pada 2020, hampir semua negara mengadopsi kebijakan moneter ultra-longgar. Suku bunga diturunkan ke titik terendah sepanjang sejarah dan stimulus fiskal disalurkan secara masif demi menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi dan terganggunya rantai pasok global, inflasi pun melonjak tajam di banyak negara. Hal ini mendorong bank sentral—terutama di negara maju—untuk berbalik arah dan mulai mengetatkan kebijakan mereka.
Akan tetapi, pengetatan tersebut sempat melambat menjelang 2024. Beberapa bank sentral bahkan mulai mempertimbangkan pemangkasan suku bunga secara bertahap. Maka dari itu, ketika menjelang 2025 muncul kembali sinyal tightening, pasar dan pelaku ekonomi mulai waspada.
Inflasi yang Kembali Membara
Salah satu pendorong utama pengetatan moneter adalah inflasi yang tak kunjung jinak. Meskipun sempat turun pada akhir 2023 hingga awal 2024, harga energi, pangan, dan biaya logistik kembali melonjak karena berbagai faktor, termasuk:
-
Ketegangan geopolitik di Laut Merah dan Ukraina,
-
Krisis iklim yang memukul hasil panen,
-
Lonjakan permintaan akibat percepatan pemulihan ekonomi di Asia dan Afrika.
Alhasil, laju inflasi inti tetap berada di atas target bank sentral, bahkan di negara-negara yang dikenal stabil seperti Jerman dan Jepang.
Respons Bank Sentral: Kembali ke Mode Pengetatan
Bank sentral seperti The Federal Reserve (AS) dan European Central Bank (ECB) mulai mengisyaratkan bahwa pelonggaran moneter belum bisa dilanjutkan. Bahkan, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada kuartal pertama 2025—langkah yang mengejutkan banyak pelaku pasar.
Bank Indonesia pun turut memperketat kebijakannya dengan menaikkan BI Rate sebagai respons atas tekanan nilai tukar dan potensi arus modal keluar. Di sisi lain, Bank of Japan yang sebelumnya mempertahankan suku bunga rendah, kini juga mulai mengirimkan sinyal perubahan arah.
Dampak Global: Ketidakpastian dan Volatilitas
Seperti biasa, setiap kali terjadi perubahan signifikan dalam kebijakan moneter global, efeknya terasa ke seluruh dunia. Nilai tukar mata uang di negara berkembang mengalami tekanan. Investor global kembali mencari aset aman seperti obligasi AS dan emas. Pasar saham menjadi volatil, terutama di sektor teknologi dan konsumsi.
Lebih jauh lagi, dunia usaha pun mulai menahan ekspansi karena biaya pinjaman kembali meningkat. Usaha kecil dan menengah (UMKM) terkena dampak paling awal, khususnya yang tergantung pada pembiayaan perbankan.
Namun, meskipun pengetatan membawa tekanan jangka pendek, banyak ekonom percaya bahwa langkah ini perlu dilakukan untuk menghindari skenario yang lebih buruk: hiperinflasi dan ketidakstabilan ekonomi jangka panjang.
Perbedaan antara 2022 dan 2025
Jika dibandingkan dengan fase pengetatan pada 2022, kondisi di 2025 memiliki beberapa perbedaan mencolok. Pertama, saat ini dunia telah lebih siap secara digital dan teknologi. Banyak negara memiliki instrumen digital banking, e-wallet, dan sistem keuangan inklusif yang lebih kuat. Kedua, sektor energi hijau sudah mulai mendominasi, yang membantu menstabilkan pasokan energi.
Namun di sisi lain, beban utang publik yang meningkat selama pandemi menjadi ancaman tersendiri. Pemerintah harus lebih berhati-hati agar kombinasi pengetatan moneter dan penyesuaian fiskal tidak justru memicu kontraksi ekonomi.
Apa yang Bisa Dilakukan Pelaku Usaha dan Masyarakat?
Dalam menghadapi kebijakan moneter yang lebih ketat, baik pelaku usaha maupun individu perlu bersiap. Beberapa langkah adaptif yang bisa dilakukan antara lain:
-
Perbaiki struktur utang
Pastikan utang jangka pendek tidak terlalu besar agar tidak terjebak biaya bunga tinggi. -
Diversifikasi sumber pendapatan
Dalam situasi ekonomi yang fluktuatif, pendapatan ganda bisa menjadi penyelamat. -
Hindari konsumsi berlebihan
Kenaikan suku bunga bisa mengurangi daya beli, jadi pengendalian gaya hidup menjadi penting. -
Investasi cerdas
Fokus pada aset yang tahan banting terhadap tekanan suku bunga seperti sektor kebutuhan pokok, kesehatan, dan energi.
Arah Selanjutnya: Apakah Akan Ada Pelonggaran Lagi?
Meskipun pengetatan menjadi narasi utama awal 2025, bukan berarti ini akan menjadi tren sepanjang tahun. Beberapa analis memperkirakan bahwa jika inflasi berhasil dikendalikan, bank sentral bisa kembali ke mode pelonggaran pada akhir tahun atau awal 2026.
Namun tentu saja, semuanya sangat bergantung pada kondisi eksternal. Konflik geopolitik, stabilitas energi, dan faktor cuaca ekstrem masih menjadi variabel penting yang akan menentukan arah kebijakan selanjutnya.
Penutup: 2025 sebagai Tahun Ujian Ekonomi Dunia
Jelas sudah bahwa 2025 bukanlah tahun yang mudah. Dunia kembali diuji dengan tekanan inflasi dan dinamika geopolitik yang kompleks. Dalam situasi ini, pengetatan moneter global menjadi langkah yang mau tidak mau harus diambil demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Namun demikian, seperti yang selalu terjadi dalam sejarah ekonomi dunia, setiap tantangan pasti memunculkan peluang baru. Yang paling penting adalah bagaimana kita, baik sebagai individu, bisnis, maupun negara, bisa bersikap adaptif dan strategis menghadapi angin kebijakan yang berubah.
baca juga : Berita terbaru