oleh

Anak Muda dan Politik: Apatis atau Aktif?

Dalam setiap siklus pemilu, anak muda selalu menjadi topik hangat. Dengan jumlah pemilih yang terus bertambah dari kalangan milenial dan Gen Z, potensi mereka dalam menentukan arah politik Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, pertanyaan klasik selalu muncul: apakah anak muda benar-benar peduli dan aktif dalam politik, atau justru cenderung apatis?

Stigma bahwa anak muda tidak tertarik pada politik sudah lama melekat. Namun, apakah anggapan tersebut masih relevan di era digital seperti sekarang?


1. Stigma Apatisme: Warisan Lama yang Masih Hidup

Banyak kalangan tua menganggap bahwa generasi muda hanya sibuk dengan media sosial, hiburan, dan gaya hidup, tanpa memedulikan isu-isu politik. Mereka dianggap mudah terprovokasi, namun malas menyuarakan pendapat dalam forum-forum formal seperti pemilu atau musyawarah warga.

Padahal, apatisme anak muda sering kali disebabkan oleh kekecewaan terhadap sistem politik yang dianggap tidak transparan, penuh drama, dan jauh dari kebutuhan rakyat. Mereka melihat politik sebagai panggung elite, bukan ruang untuk perubahan nyata.


2. Statistik Berbicara: Anak Muda Adalah Kekuatan Besar

Menurut data KPU, lebih dari 50% pemilih pada Pemilu 2024 berasal dari kelompok usia 17–39 tahun. Ini berarti, suara generasi muda sangat menentukan hasil pemilu dan arah kebijakan nasional. Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dioptimalkan oleh partai politik atau pemerintah.

Sayangnya, banyak anak muda tidak menggunakan hak pilih mereka karena merasa tidak percaya pada kandidat atau sistem politik yang ada. Inilah tantangan utama: bagaimana membangun kembali kepercayaan mereka terhadap sistem demokrasi?


3. Aktivisme Digital: Bentuk Baru Partisipasi Politik

Di era media sosial, partisipasi politik tidak lagi hanya terlihat di TPS atau forum diskusi formal. Banyak anak muda yang aktif menyuarakan pendapatnya di platform seperti Twitter (X), Instagram, TikTok, dan YouTube. Mereka mengkritisi kebijakan, membahas isu HAM, lingkungan, bahkan mengorganisir petisi online yang menjangkau jutaan orang.

Tagar seperti #ReformasiDikorupsi, #TolakOmnibusLaw, hingga #SaveKPK menjadi bukti nyata bahwa anak muda tidak tinggal diam. Mereka memilih jalur yang lebih relevan dengan gaya hidup mereka: digital, cepat, dan masif.


4. Anak Muda dalam Parlemen dan Kepemimpinan

Meski jumlahnya belum dominan, mulai banyak anak muda yang masuk ke ranah politik formal. Baik sebagai caleg, aktivis partai, hingga pejabat publik muda yang mencoba membawa semangat baru ke dalam birokrasi.

Nama-nama seperti Tsamara Amany, Faldo Maldini, dan figur lokal lain menjadi contoh bahwa politik bukan hanya milik orang tua. Mereka membawa pendekatan segar, transparansi, dan bahasa yang lebih dekat dengan masyarakat.

Namun, tantangannya besar: apakah mereka bisa tetap idealis di tengah sistem politik yang sudah lama mapan?


5. Politik Tak Harus Formal: Kekuatan di Balik Komunitas

Tidak semua anak muda ingin jadi politikus, tapi banyak dari mereka aktif dalam gerakan sosial, komunitas lingkungan, atau inisiatif pendidikan. Inilah bentuk politik non-formal: memperjuangkan nilai dan perubahan dari akar rumput.

Partisipasi ini sangat penting karena memperkuat demokrasi dari bawah, bukan hanya melalui pemilu tapi juga lewat kerja nyata di tengah masyarakat.


6. Tantangan: Kurikulum Politik dan Edukasi Kritis

Salah satu alasan mengapa anak muda kurang terlibat secara formal adalah minimnya edukasi politik sejak dini. Di sekolah, pelajaran kewarganegaraan sering kali hanya sebatas hafalan, bukan pembelajaran kritis tentang bagaimana sistem bekerja.

Anak muda butuh ruang untuk belajar, berdiskusi, dan memahami bahwa suara mereka penting. Media sosial bisa jadi alat bantu, tapi literasi digital dan politik tetap harus diperkuat agar mereka tidak mudah termakan hoaks atau propaganda.


7. Harapan: Politik yang Lebih Inklusif dan Relevan

Untuk mengajak anak muda lebih aktif dalam politik, sistem politik harus berubah. Partai politik harus mulai membuka ruang lebih besar bagi kader muda. Pemerintah harus lebih terbuka terhadap aspirasi digital. Dan media harus menghadirkan narasi politik yang inspiratif, bukan sekadar sensasional.

Anak muda bukan generasi apatis. Mereka adalah generasi yang menunggu ruang untuk terlibat dan diberdayakan.


Kesimpulan: Apatis atau Aktif? Jawabannya di Tindakan

Label apatis bagi anak muda tak lagi relevan jika kita melihat geliat digital, gerakan sosial, dan keberanian mereka menyuarakan perubahan. Mereka hanya butuh sistem yang lebih ramah, transparan, dan relevan dengan dunia mereka.

Anak muda adalah masa depan demokrasi. Dan masa depan itu sedang tumbuh hari ini, lewat tweet, aksi sosial, hingga kursi legislatif yang mulai ditempati oleh mereka.

Jadi, apatis atau aktif? Jawabannya tergantung kita semua — apakah memberi ruang, mendengar suara, dan percaya pada kekuatan generasi muda.

Baca juga Artikel Lainnya Kabid dlh tangsel Diduga Korupsi Sampah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *