Candi Mendut, berdiri kokoh di Desa Mendut, Magelang, Central Java, merupakan situs Buddhis tertua di antara tiga candi yang membentuk Kompaun Borobudur. Didirikan pada awal abad ke-9 Masehi oleh Dinasti Sailendra atas perintah Raja Indra, candi ini awalnya dikenal sebagai “Venuvana” atau hutan bambu sakral. Prasasti Karangtengah tahun 824 M secara eksplisit menyebut pembangunan dan penyelesaian Venuvana pada masa Raja Indra Sailendra. Menyusuri relief dan arsitektur istimewa Candi Mendut, kita dapat melihat jejak ritual pradakshina, ajaran Mahayana, dan kesinambungan spiritual dengan Candi Pawon serta Borobudur yang terletak sejajar di lembah Progo.
Sejarah dan Prasasti Karangtengah
Dinasti Sailendra dan Raja Indra
Candi Mendut dibangun pada masa keemasan Dinasti Sailendra yang menguasai Jawa Tengah antara abad ke-8 hingga ke-9 M. Prasasti Karangtengah tahun 824 M menyebutkan sebuah “bangunan suci” bernama Venuvana—“hutan bambu”—yang diartikan para arkeolog sebagai Candi Mendut. Raja Indra Sailendra, pewaris mahkota budaya Buddhis, memerintahkan pendirian candi ini sebagai tempat pemujaan Mahayana dan pusat ziarah regional.
Penamaan “Mendut”
Menurut tradisi lisan setempat, nama “Mendut” berasal dari desa di mana candi berada. Namun, sumber awal cenderung menekankan istilah asli “Venuvana”, merujuk pada lingkungan bambu yang dulu mengelilingi kompleks candi. Seiring waktu, “Venuvana” berubah menjadi “Mendut” dalam kosakata Jawa Tengah, menandai proses akulturasi budaya lokal dengan tradisi Buddhis India.
Arsitektur dan Relief
Denah dan Hiasan Eksterior
Candi Mendut berdenah persegi (13,7 × 13,7 m), berdiri di atas basis setinggi 3,7 m, dan menghadap barat laut. Tangga utama dihiasi patung makara—makhluk mistis laut—di kedua sisinya, simbol penjaga ambang pintu suci. Dinding selasar menampilkan relief Jataka (kisah hidup Buddha) yang mengajarkan moralitas melalui cerita hewan, meneguhkan fungsi pedagogis candi sebagai media dakwah.
Relung Utama dan Tiga Patung Batu
Ruang utama memuat tiga arca batu setinggi hampir 3 m:
-
Dhyani Buddha Vairocana di tengah, lambang pelepasan dari karma bodi.
-
Bodhisattva Avalokitesvara di kiri, pembebas dari karma ucapan.
-
Bodhisattva Vajrapani di kanan, pelindung yang mengatasi karma pikiran.
Bersama relief Bodhisattva lain—Maitreya, Samantabhadra, dan Prajnaparamita—arca-arca ini mencerminkan ajaran Mahayana lengkap yang diimajinasikan pada tata ruang spiritual.
Hubungan dengan Pawon dan Borobudur
Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur terletak sejajar membentuk garis lurus sepanjang ≈ 3 km melintasi Sungai Progo. Pola ini dipandang sebagai Ritual Axis untuk praktek pradakshina masal saat perayaan Waisak. Pada bulan Mei–Juni (bulan purnama), umat Buddha berjalan kaki dari Mendut → Pawon → Borobudur, menuntun jiwa dalam langkah simbolis menuju pencerahan.
Restorasi dan Penemuan Kembali
Penemuan Kembali Abad ke-19
Pada 1836, Candi Mendut ditemukan dalam kondisi reruntuhan dan tertutup semak belukar.
Upaya Restorasi Kolonial Belanda
Restorasi pertama dimulai tahun 1897, dikerjakan oleh arkeolog Belanda seperti J.G. de Casparis, dan diselesaikan pada 1925 di bawah supervisi Theodoor van Erp. Van Erp, yang juga memimpin proyek Borobudur, menerapkan metode konservasi berstandar internasional untuk merekonstruksi struktur dan relief yang hilang.
Konservasi Kontemporer
Sejak 1991, Candi Mendut menjadi bagian dari Kompaun Candi Borobudur yang terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Laporan konservasi terbaru (2021) menegaskan pemantauan berkala, pengelolaan drainase, dan pelibatan masyarakat lokal untuk pelestarian jangka panjang.
Signifikansi Budaya dan Ritual
Candi Mendut bukan hanya monumen kuno tetapi juga pusat spiritual masyarakat Jawa Tengah. Selain Waisak, peziarah Kejawen (mistisisme Jawa) datang memohon kesembuhan atau kesuburan dengan berdoa pada relief Hariti, dewi anak-anak, di ruang depan. Peran ini menegaskan sinergi antara Buddhisme formal dan praktik keagamaan lokal, menciptakan warisan religius yang dinamis.
Kesimpulan
Asal usul Candi Mendut berpijak pada kebijakan budaya Dinasti Sailendra, dirayakan lewat prasasti Karangtengah tahun 824 M, dan diwujudkan dalam arsitektur khas Mahayana abad ke-9 M. Keberadaannya sebagai Venuvana yang sakral, hubungannya dengan Pawon dan Borobudur, serta restorasi berkelanjutan menjadikannya salah satu permata Buddhis di Pulau Jawa. Melalui pelestarian UNESCO dan partisipasi komunitas lokal, Candi Mendut terus menginspirasi ziarah, studi arkeologi, dan penghargaan atas warisan budaya Nusantara.
Baca juga : misteri pemakaman desa trunyan ritual unik yang menjadi daya tarik wisata
Komentar
1 komentar