Berita Viral | Berita Terpercaya | Berita Terkini | Info Berita Hari Ini | Berita Terkini
Suku Dayak, salah satu suku terbesar di Pulau Kalimantan, memiliki sejarah panjang dan menarik mengenai asal-usul dan peradaban mereka. Banyak catatan sejarah dan hasil penelitian menyebutkan bahwa leluhur suku Dayak berasal dari Provinsi Yunnan di China Selatan, tepatnya dari kawasan aliran Sungai Yang Tse Kiang, Sungai Mekong, dan Sungai Menan.
Migrasi besar-besaran dari wilayah Yunnan ke Asia Tenggara, termasuk Kalimantan, terjadi dalam beberapa gelombang. Awalnya, kelompok-kelompok ini menuju Semenanjung Malaysia sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke bagian utara Pulau Kalimantan. Teori migrasi ini juga sejalan dengan pandangan para ahli bahasa seperti Peter Bellwood dan Blust, yang meyakini bahwa nenek moyang penutur Austronesia berasal dari Taiwan dan menyebar ke seluruh wilayah kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Namun, kedatangan kelompok Austronesia bukanlah awal dari sejarah Kalimantan. Pulau ini sudah dihuni manusia sejak 60.000 hingga 70.000 tahun lalu, saat daratan Asia dan Australia masih tersambung melalui daratan Sunda. Kala itu, manusia purba telah bermigrasi ke selatan menuju benua Australia melalui wilayah yang kini kita kenal sebagai Indonesia.
Istilah “Dayak” sendiri bukanlah sebutan asli, melainkan nama yang diberikan oleh penjajah Belanda kepada penduduk pedalaman Kalimantan yang tinggal di sekitar aliran sungai dan hutan. Mereka hidup sebagai nelayan, petani, dan pemburu.
Dalam catatan sejarah, suku Dayak juga pernah memiliki kerajaan lokal sendiri, salah satunya dikenal sebagai Nansarunai. Kerajaan ini, yang didirikan oleh suku Dayak Maanyan, diyakini hancur akibat serangan dari Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Peristiwa tersebut menyebabkan penyebaran penduduk Dayak ke wilayah pedalaman lainnya, termasuk ke wilayah Dayak Lawangan.
Seiring waktu, pengaruh dari luar mulai masuk. Islam masuk melalui kerajaan-kerajaan seperti Demak dan Banjar, dan sebagian suku Dayak memeluk agama baru ini. Sementara yang lainnya memeluk Kristen pada masa kolonial. Akibatnya, beberapa kelompok Dayak melebur ke dalam suku Melayu dan Banjar, meninggalkan sebagian tradisi adat mereka.
Tidak hanya bangsa dari Nusantara, pengaruh luar juga datang dari bangsa Tionghoa yang mulai berdagang di Kalimantan sejak Dinasti Ming (abad ke-14). Dalam catatan sejarah Dinasti Ming, kota Banjarmasin disebut sebagai kota pertama yang mereka kunjungi. Meski awalnya hanya berdagang, beberapa pedagang Tionghoa kemudian menetap di wilayah pesisir Kalimantan, terutama di Banjarmasin.
Meski pengaruh budaya dan ekonomi Tionghoa cukup besar di wilayah kota, interaksi mereka dengan masyarakat Dayak di pedalaman tidak terlalu signifikan. Pedagang Tionghoa lebih banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lokal seperti Banjar. Namun demikian, beberapa peninggalan budaya Tionghoa, seperti keramik, guci, dan piring porselen (malawen), masih tersimpan dengan baik di beberapa rumah tradisional Dayak.
Pada masa Kaisar Yongle, armada besar di bawah komando Laksamana Cheng Ho juga pernah singgah di Kalimantan dalam ekspedisi maritimnya ke Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa Kalimantan sudah sejak lama menjadi persimpangan peradaban dan perdagangan antarbangsa.
Pada 1750, Sultan Mempawah bahkan menerima para imigran Tionghoa dari Brunei yang datang untuk mencari emas. Mereka tidak hanya membawa harapan ekonomi, tetapi juga berbagai barang dagangan seperti candu, kain sutera, dan peralatan rumah tangga yang kemudian memperkaya budaya lokal.
Sejarah panjang suku Dayak merupakan perpaduan antara akar leluhur dari Yunnan, migrasi Austronesia, hingga pengaruh kerajaan dan perdagangan lintas bangsa. Semua itu membentuk identitas unik yang masih lestari di Kalimantan hingga kini.
Komentar