Resiko Menangkap Ikan Menggunakan Barang Berbahaya Terhadap Ekosistem dan Lingkungan
angginews.com Penangkapan ikan merupakan aktivitas penting dalam memenuhi kebutuhan pangan global, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Namun, praktik yang tidak bertanggung jawab seperti penggunaan bahan berbahaya—termasuk bom, racun, dan alat setrum—masih banyak ditemukan di lapangan.
Metode ini mungkin menjanjikan hasil cepat dan melimpah, tetapi menyimpan konsekuensi jangka panjang yang serius terhadap ekosistem dan lingkungan perairan. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara menyeluruh berbagai risiko penggunaan alat tangkap berbahaya bagi laut dan kehidupan yang bergantung padanya.
1. Apa yang Dimaksud Penangkapan Ikan dengan Barang Berbahaya?
Barang atau metode berbahaya dalam penangkapan ikan merujuk pada alat atau zat yang merusak lingkungan dan membahayakan biota perairan. Contohnya:
-
Bom ikan (destructive fishing): menggunakan bahan peledak rakitan
-
Racun ikan: seperti potasium sianida atau bahan kimia rumah tangga
-
Setrum listrik: arus listrik dialirkan ke dalam air untuk melumpuhkan ikan
Metode ini tidak selektif, merusak habitat, dan dapat menyebabkan kematian massal biota lain, termasuk spesies yang dilindungi.
2. Kerusakan Ekosistem Laut
Salah satu dampak paling nyata dari penggunaan bahan berbahaya adalah kerusakan langsung terhadap ekosistem laut, terutama terumbu karang.
Dampaknya:
-
Ledakan bom menghancurkan struktur terumbu dalam radius beberapa meter
-
Racun ikan merusak mikroorganisme penting yang hidup di sekitar karang
-
Karang mati membuat ikan kehilangan tempat berlindung dan berkembang biak
Padahal, terumbu karang adalah rumah bagi lebih dari 25% spesies laut dunia, meski hanya menempati <1% permukaan laut.
3. Kematian Biota Non-Target
Alat tangkap berbahaya tidak membedakan ikan yang ditargetkan dan biota lain. Akibatnya, banyak makhluk laut lain ikut terbunuh:
-
Ikan muda yang belum siap panen
-
Spesies dilindungi seperti penyu atau hiu
-
Plankton, moluska, dan krustasea penting bagi rantai makanan laut
Kematian biota non-target ini menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang bisa berlangsung puluhan tahun.
4. Menurunnya Populasi Ikan dan Sumber Daya Laut
Dalam jangka panjang, penggunaan metode berbahaya menyebabkan penurunan drastis populasi ikan di wilayah yang terkena dampak.
Kondisi ini memicu:
-
Menurunnya hasil tangkapan di masa depan
-
Persaingan antar-nelayan semakin tinggi
-
Peningkatan praktik ilegal karena ikan semakin langka
Ironisnya, keuntungan jangka pendek ini justru mengarah pada kerugian berkelanjutan bagi nelayan sendiri.
5. Ancaman terhadap Kehidupan Nelayan Tradisional
Nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan ikut terdampak oleh praktik destruktif ini. Mereka harus:
-
Melaut lebih jauh karena ikan menghilang dari perairan lokal
-
Bersaing dengan hasil tangkapan ilegal yang murah
-
Menghadapi kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki
Hal ini menciptakan ketimpangan dan memicu konflik sosial antar komunitas nelayan.
6. Pencemaran Air dan Gangguan Kesehatan
Racun seperti sianida dan deterjen tidak hanya membunuh ikan, tetapi juga mencemari air. Zat-zat ini bisa:
-
Masuk ke rantai makanan manusia
-
Menyebabkan keracunan jika ikan beracun dikonsumsi
-
Merusak kualitas air dan mengganggu kesehatan masyarakat pesisir
Dampaknya tidak hanya lokal, tapi juga dapat meluas ke perairan regional.
7. Gangguan terhadap Pariwisata Bahari
Di banyak wilayah Indonesia, wisata bahari—seperti snorkeling dan diving—adalah sumber pendapatan utama. Terumbu karang yang rusak dan populasi ikan yang menurun membuat:
-
Wisatawan enggan datang
-
Industri wisata laut kehilangan daya tarik
-
Pendapatan masyarakat pesisir menurun
Lingkungan yang rusak = turisme laut yang mati.
8. Pelanggaran Hukum dan Konsekuensi Hukum
Penangkapan ikan dengan bahan berbahaya adalah tindakan ilegal berdasarkan hukum Indonesia.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (yang diperbarui dengan UU No. 45 Tahun 2009) secara tegas melarang penggunaan:
-
Bahan peledak
-
Racun
-
Alat listrik
Pelanggar dapat dikenai hukuman pidana hingga 6 tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah.
Namun, penegakan hukum masih menjadi tantangan, terutama di daerah terpencil.
9. Kerusakan yang Butuh Waktu Puluhan Tahun untuk Pulih
Kerusakan yang ditimbulkan bukan sesuatu yang bisa pulih dalam waktu singkat. Terumbu karang, misalnya, butuh 20 hingga 50 tahun untuk tumbuh kembali. Itupun hanya jika:
-
Lingkungan benar-benar dipulihkan
-
Tidak ada lagi aktivitas merusak
-
Ada dukungan rehabilitasi dari komunitas dan pemerintah
Sekali rusak, pulihnya sangat lambat.
10. Solusi: Edukasi, Alternatif, dan Penegakan Hukum
Beberapa solusi yang dapat dilakukan bersama:
-
Edukasi nelayan tentang dampak jangka panjang dan alternatif alat tangkap ramah lingkungan
-
Pemerintah dan LSM menyediakan alat tangkap sederhana yang legal dan efisien
-
Meningkatkan patroli laut dan pelaporan masyarakat terhadap praktik ilegal
-
Mendorong konsumen membeli produk perikanan yang berkelanjutan
Perubahan tidak bisa instan, tapi dimulai dari kesadaran bersama.
Kesimpulan
Menangkap ikan dengan barang berbahaya memang tampak menguntungkan di awal, tetapi biaya ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar. Kerusakan terhadap ekosistem laut, matinya biota laut, hingga ancaman terhadap kehidupan masyarakat pesisir adalah bukti bahwa cara ini tidak berkelanjutan.
Sebagai bagian dari generasi yang peduli lingkungan, kita memiliki peran penting: menghentikan, mencegah, dan menyadarkan orang lain bahwa laut bukan hanya sumber pangan, tetapi juga warisan masa depan.
Menjaga laut berarti menjaga kehidupan.
baca juga : info malam ini
Komentar