angginews.com Dalam dunia digital yang serba cepat ini, viralitas menjadi senjata sekaligus jebakan. Apa pun bisa mendadak terkenal dalam hitungan menit—mulai dari kisah haru seorang petugas kebersihan yang jujur hingga rekaman menyedihkan seorang anak yang menangis kelaparan.
Viralitas: Pedang Bermata Dua
Pada dasarnya, viralitas memiliki kekuatan luar biasa. Ia mampu menggerakkan opini publik, membentuk kebijakan, dan mengubah nasib individu dalam semalam. Misalnya, video tentang perlakuan tidak adil terhadap seorang pedagang kaki lima bisa mengguncang pejabat lokal hingga membuat mereka bertindak cepat. Akan tetapi, di sisi lain, viralitas juga kerap mengeksploitasi momen-momen rawan dan pribadi untuk konsumsi massa yang haus hiburan.
Bahkan lebih dari itu, transisi dari empati ke eksotisasi sangat cepat terjadi. Tak sedikit konten viral yang awalnya bertujuan mulia, tapi kemudian berubah menjadi ajang pengumpulan likes, views, dan monetisasi.
Viralitas: Pedang Bermata Dua
Untuk memahami perbedaannya, mari kita lihat dua skenario. Pertama, seseorang mendokumentasikan praktik tidak adil dan membagikannya dengan maksud menyoroti isu sistemik yang butuh perhatian. Kedua, seseorang memvideokan individu dalam kondisi terpuruk dan menyebarkannya tanpa izin demi mengundang belas kasihan—atau lebih buruk lagi, demi popularitas.
Meski keduanya bisa viral dan memicu reaksi publik, niat dan pendekatannya sangat berbeda.
Oleh karena itu, perbedaan antara advokasi dan eksploitasi bukan sekadar pada hasil, tetapi pada niat, proses, dan cara penyajian.
Peran Media Sosial: Pendorong atau Pemicu?
Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter kini menjadi panggung utama narasi-narasi viral. Namun, algoritma media sosial tidak peka terhadap etika. Yang mereka prioritaskan hanyalah keterlibatan pengguna. Semakin banyak komentar, like, dan share, semakin tinggi eksposur konten tersebut.
Di sinilah tantangan besar muncul. Dalam upaya mengejar impresi digital, pembuat konten sering mengorbankan kedalaman dan kepekaan etis. Bahkan organisasi dan lembaga kemanusiaan pun kadang terjebak dalam narasi instan yang “menjual,” alih-alih membangun kesadaran jangka panjang.
Namun demikian, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan platform.
Membangun Budaya Digital yang Etis
Lalu, bagaimana kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih etis? Berikut beberapa pendekatan yang bisa dilakukan:
-
Mengedepankan Persetujuan Subjek
Jangan mengambil gambar atau video orang lain tanpa izin, terutama jika mereka dalam kondisi rentan. Persetujuan bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk penghormatan. -
Memberikan Konteks Narasi
Jangan potong video atau gambar hanya demi dramatisasi. Penonton berhak tahu latar belakang, sebab-akibat, dan konsekuensi dari peristiwa yang ditampilkan. -
Tidak Monetisasi Penderitaan
Jika konten menyangkut penderitaan orang lain, jangan gunakan untuk mendapat keuntungan pribadi tanpa keterlibatan mereka dalam hasilnya. -
Mengedukasi Audiens
Dorong diskusi sehat, arahkan penonton untuk terlibat secara nyata, misalnya dengan berdonasi, menandatangani petisi, atau mendukung kebijakan tertentu.
Dengan kata lain, kita harus bergerak dari sekadar menjadi konsumen pasif menuju aktor aktif yang bertanggung jawab dalam ekosistem digital.
Contoh Nyata: Advokasi yang Berhasil
Sebagai ilustrasi, mari kita ingat kampanye tentang pendidikan anak jalanan yang sempat viral beberapa tahun lalu. Dalam kampanye itu, video pendek menampilkan rutinitas seorang anak yang tetap belajar meski harus bekerja setiap malam. Berkat pendekatan yang empatik dan kerja sama dengan LSM, kampanye tersebut mampu menggalang dana pendidikan yang transparan, memperluas advokasi ke tingkat kebijakan, dan menjaga martabat subjek.
Kesimpulan: Etika Sebagai Filter Digital
Era viral memang membuka peluang besar bagi penyebaran informasi dan perubahan sosial. Namun, seperti dua sisi koin, ia juga membawa risiko manipulasi emosi, eksposur berlebihan, hingga reduksi kompleksitas menjadi sekadar tontonan.
Kita perlu bertanya lebih dalam: Apakah kita sedang menyuarakan kebenaran, atau hanya mendompleng popularitas? Apakah kita membantu orang lain, atau justru mengeksploitasi kesulitan mereka?
baca juga : kabar malam
Komentar