angginews.com Dalam era informasi digital yang semakin canggih, peran media massa sebagai pembentuk persepsi publik semakin krusial. Salah satu aspek penting dalam studi komunikasi adalah analisis framing, yakni bagaimana media menyusun narasi atau membingkai suatu isu sehingga membentuk pemahaman publik terhadap realitas sosial, termasuk realitas budaya. Maka dari itu, memahami bagaimana framing bekerja dalam liputan media menjadi kunci untuk menelusuri bagaimana masyarakat membentuk identitas budayanya.

Apa Itu Framing?

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa framing adalah suatu proses penyajian berita atau informasi oleh media dengan sudut pandang tertentu. Proses ini tidak hanya menyangkut pemilihan kata dan gambar, melainkan juga penekanan terhadap aspek-aspek tertentu dari suatu peristiwa, serta pengabaian elemen lainnya.

Misalnya, dalam peliputan tentang tradisi lokal, media dapat memilih untuk menekankan unsur mistis, eksotisme, atau bahkan keterbelakangan. Narasi tersebut tentu saja akan membentuk persepsi masyarakat, baik dari dalam maupun luar budaya tersebut, terhadap identitas budaya yang sedang disorot.

Hubungan Antara Media dan Budaya

Media tidak hanya menjadi cermin dari budaya, tetapi juga menjadi agen aktif dalam membentuk dan mendefinisikannya. Dengan kata lain, media turut berkontribusi dalam konstruksi sosial budaya melalui cara mereka membingkai suatu informasi. Karena itu, framing bukan sekadar teknik penyampaian, tetapi juga instrumen ideologis yang secara sadar atau tidak, dapat memperkuat atau melemahkan posisi budaya tertentu dalam masyarakat.

Contohnya, budaya minoritas sering kali direpresentasikan secara stereotipikal dalam film, berita, atau iklan. Hal ini memperlihatkan bagaimana framing media dapat menciptakan jarak dan dominasi budaya, bahkan secara tidak langsung melanggengkan ketidaksetaraan sosial.

Bentuk-Bentuk Framing dalam Liputan Budaya

Dalam kajian komunikasi massa, banyak ahli seperti Entman (1993) menjelaskan bahwa framing terdiri dari empat elemen utama, yakni:

  1. Pendefinisian masalah (problem definition)

  2. Diagnosa penyebab (causal interpretation)

  3. Evaluasi moral (moral evaluation)

  4. Rekomendasi solusi (treatment recommendation)

Jika media meliput budaya lokal dengan nada “eksotik dan unik”, maka secara tidak langsung terjadi konstruksi bahwa budaya tersebut adalah “lain” dari budaya dominan. Padahal, pada dasarnya, setiap budaya memiliki nilai dan dinamika yang setara. Sayangnya, melalui proses framing yang selektif, budaya minoritas bisa dianggap sebagai objek hiburan atau kekunoan semata.

Dampak Framing terhadap Persepsi Publik

Framing tidak hanya memengaruhi bagaimana masyarakat memahami suatu budaya, tetapi juga bagaimana budaya tersebut diposisikan secara sosial. Dengan kata lain, framing bisa menjadi alat dominasi budaya.

Sebagai contoh, ketika media asing meliput budaya Indonesia hanya dari aspek kemiskinan, keterbelakangan, atau tradisi mistis, maka konstruksi realitas yang muncul di benak publik global pun cenderung negatif. Akibatnya, masyarakat Indonesia sendiri bisa mulai menginternalisasi narasi tersebut dan kehilangan kebanggaan terhadap budayanya sendiri.

Sebaliknya, framing positif bisa memperkuat identitas dan harga diri kolektif suatu komunitas. Jika media menampilkan budaya lokal sebagai warisan berharga yang relevan dengan masa kini, maka publik akan cenderung mempertahankan dan mengembangkan tradisi tersebut secara aktif.

Studi Kasus: Media dan Tradisi Lokal

Untuk memperjelas, mari kita lihat contoh sederhana dalam liputan media nasional terhadap tradisi Reog Ponorogo. Dalam beberapa media, Reog kerap disorot sebagai tarian ekstrem atau bahkan berbahaya karena unsur-unsur magisnya. Namun di sisi lain, ada juga media yang menampilkan Reog sebagai warisan budaya yang sarat nilai estetika dan sejarah perlawanan.

Dengan demikian, siapa pun yang mengakses berita tersebut akan menerima realitas budaya yang berbeda, tergantung pada bingkai informasi yang dipilih oleh media. Inilah bukti bahwa framing memiliki kekuatan besar dalam membentuk pemahaman kolektif.

Tantangan Etis dan Solusi

Melihat pengaruh besar framing terhadap konstruksi realitas budaya, maka tanggung jawab etis media pun menjadi sangat penting. Media seharusnya tidak hanya mengejar klik dan popularitas, tetapi juga memperhatikan keakuratan dan keadilan dalam menyampaikan informasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya.

Solusi yang bisa diterapkan antara lain:

Peran Media Alternatif dan Digital

Di tengah dominasi media arus utama, munculnya media alternatif dan media digital memberikan harapan baru. Komunitas budaya kini bisa membuat konten mereka sendiri tanpa melalui filter ideologis dari media besar. Platform seperti YouTube, Instagram, dan podcast menjadi ruang ekspresi budaya yang lebih bebas dan otentik.

Namun demikian, hal ini juga membawa tantangan baru terkait kualitas informasi dan potensi bias baru. Oleh karena itu, perlu kesadaran kolektif agar media digital tetap digunakan untuk memperkuat representasi budaya secara jujur dan berimbang.

Kesimpulan

Sebagai penutup, analisis framing media terhadap konstruksi realitas budaya menunjukkan bahwa media bukan sekadar perantara informasi, tetapi juga pembentuk identitas kolektif. Cara media membingkai budaya sangat memengaruhi bagaimana budaya itu dilihat, dipahami, dan dihargai oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu, literasi media menjadi penting, bukan hanya bagi konsumen berita, tetapi juga bagi produsen konten. Di era digital saat ini, di mana setiap individu bisa menjadi pembuat media, penting bagi kita semua untuk bertanggung jawab dalam membingkai realitas budaya secara adil, kritis, dan bermartabat.

Baca Juga : Berita Terkini