Pada awal 2025, IHSG tertekan oleh arus modal keluar asing dan ketidakpastian kebijakan global, mencatat penurunan hampir 14% YTD. Namun, sejumlah lembaga riset dan otoritas pasar modal optimis IHSG dapat bergerak di kisaran 6.900–8.150 pada akhir tahun, didukung stabilitas rupiah, kebijakan moneter akomodatif, dan rebound harga komoditas. Artikel ini membahas kinerja terkini, faktor pemicu perbaikan, proyeksi analis, serta risiko dan strategi investasi untuk menilai apakah IHSG akan membaik kembali di 2025.

1. Kinerja IHSG hingga Awal 2025

IHSG menyentuh level terendah sejak Agustus 2021 di kisaran 6.258 pada Maret 2025, mencerminkan tekanan jual asing yang terbesar sejak 2020. Tahun ini, IHSG melemah sekitar 11–14% YTD, seiring net sell asing mencapai miliaran dolar AS. Volatilitas pasar juga dipicu oleh kekhawatiran akan perpanjangan tarif AS, yang memengaruhi ekspektasi investor terhadap aset negara berkembang.

1.1 Sentimen Global dan Arus Modal

Pasar ASEAN, termasuk IHSG, mengalami outflow asing senilai USD 4,16 miliar—tertinggi sejak 2020—karena investor beralih ke saham China yang menawarkan valuasi lebih murah. Selanjutnya, kekhawatiran pelambatan pertumbuhan global makin melemahkan permintaan terhadap aset berisiko, mendorong eksodus modal dari Indonesia.

2. Faktor Pemicu Perbaikan IHSG

2.1 Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan BI7DRR di 5,75% untuk menopang stabilitas rupiah dan mencegah arus modal keluar lebih dalam. Mayoritas ekonom dalam survei Reuters mengharapkan BI tidak menurunkan suku bunga hingga menyelesaikan tekanan pada kurs IDR.

2.2 Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1% pada 2025–2026, didukung konsumsi domestik yang masih kuat. Meski pemerintah mengindentifikasi perlambatan global, peningkatan belanja infrastruktur dan subsidi biodiesel B40 akan menopang ekspor komoditas dan pendapatan negara.

2.3 Rebound Harga Komoditas

Harga batubara yang dikendalikan melalui Harga Batu Bara Acuan (HBA) membantu meningkatkan royalti pemerintah, sementara kenaikan harga CPO di pasar global mendukung emiten agrikultur . Permintaan biodiesel B40 di pasar domestik diperkirakan menyerap tambahan 1,2–1,7 juta ton CPO, yang turut mengerek harga dan kinerja sektor .

2.4 Indeks Kondisi Ekonomi dan Kepercayaan Konsumen

Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada Januari 2025 berada di level 113,5 dan 140,8, menandakan optimisme konsumen yang dapat menopang permintaan barang dan jasa domestik.

3. Proyeksi Analis dan Lembaga Riset

Mandiri Sekuritas memproyeksikan IHSG akan mencapai level 8.150 pada akhir 2025, didukung sektor konsumsi, pangan, properti, dan telekomunikasi yang menunjukkan fundamental kuat.
Sementara itu, analis Kontan memperkirakan IHSG bergerak dalam rentang 6.500–7.000 pada jangka pendek hingga menengah, dengan titik terendah di 6.300 sudah kemungkinan tercapai.
Mirae Asset Sekuritas memproyeksikan batas bawah IHSG di 6.900 dan batas atas di 7.125 pada penutupan tahun, seiring stabilitas inflasi global dan potensi penurunan suku bunga acuan AS.

4. Risiko dan Ketidakpastian

4.1 Kebijakan Tarif AS dan Gejolak Global

Kebijakan tarif AS yang berkelanjutan dapat menimbulkan ketidakpastian perdagangan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga investor menahan diri.

4.2 Fluktuasi Rupiah

Nilai tukar rupiah yang tertekan ke kisaran IDR 15.400/USD menambah beban bagi emiten berdenominasi impor dan meningkatkan risiko likuiditas.

4.3 Perlambatan Konsumsi Domestik

Jika kepercayaan konsumen menurun (IEK/ IKE melemah), sektor ritel dan properti dapat terpukul, menurunkan kinerja emiten konsumer.

4.4 Kenaikan Royalti Komoditas

Rencana peningkatan royalti nikel dan logam dasar lain dapat menurunkan margin emiten pertambangan, yang berpotensi memperlambat sektor tersebut .

5. Strategi Investor

  • Diversifikasi Sektor: Alokasi pada komoditas dan perbankan untuk memanfaatkan rebound harga dan spread bunga.

  • Buy on Weakness: Manfaatkan koreksi IHSG di bawah 7.000 untuk akumulasi saham blue chip dengan fundamental kuat.

  • Hedge Valas: Pertimbangkan kontrak forward untuk memitigasi risiko fluktuasi rupiah.

  • Pantau Data Makro: Fokus pada rilis data PMI, inflasi, dan keputusan suku bunga BI serta Fed untuk menentukan timing investasi.

Kesimpulan

IHSG menghadapi tekanan di awal 2025 akibat arus modal keluar, kebijakan tarif AS, dan volatilitas rupiah, namun didukung oleh prospek pertumbuhan ekonomi 5,1%, kebijakan moneter stabil, dan rebound harga komoditas. Proyeksi analis memetakan rentang 6.900–8.150 pada akhir tahun, memberikan peluang bagi investor yang siap memanfaatkan koreksi dan berfokus pada sektor fundamental. Dengan tetap memantau risiko dan menerapkan strategi diversifikasi, IHSG diharapkan dapat membaik kembali di tahun 2025.

baca juga : apa yang menyebabkan resesi ekonomi 2025 ini analisis para ahli

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar