Warna perak yang mencolok di tengah hiruk-pikuk lalu lintas kota besar kini menjadi pemandangan yang lazim. Sosok-sosok berlumur cat mengkilap, berdiri kaku di pinggir jalan sambil berharap recehan dari pengendara. Mereka disebut manusia silver—fenomena sosial yang makin marak di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Medan.
Fenomena ini bukan sekadar pemandangan unik, tetapi memantik diskusi lebih dalam: apakah ini bentuk kreativitas jalanan, atau justru cerminan kemiskinan urban yang semakin nyata?
Dari Performa Jalanan ke Simbol Bertahan Hidup
Manusia silver biasanya terdiri dari laki-laki muda, bahkan anak-anak, yang mengecat seluruh tubuh dan wajahnya dengan cat berwarna perak. Mereka berdiri di bawah terik matahari, di perempatan jalan, atau di depan minimarket. Gerakan mereka dibuat seperti patung hidup, lalu kadang mengulurkan tangan meminta uang.
Konsep ini awalnya dikenal sebagai seni jalanan (street performance), terinspirasi dari aksi-aksi serupa di luar negeri. Namun, di Indonesia, konteksnya berbeda. Alih-alih menjadi seniman yang tampil demi apresiasi seni, manusia silver lebih sering menjadikan aktivitas ini sebagai upaya bertahan hidup karena tak memiliki pekerjaan tetap.
Gejala Kemiskinan Kota yang Tersamar
Dalam beberapa wawancara dengan media, manusia silver mengaku melakukannya karena kesulitan ekonomi. Banyak dari mereka adalah perantau yang gagal mendapatkan pekerjaan formal. Biaya hidup tinggi di kota, keterbatasan keterampilan, dan pandemi yang memperburuk ekonomi, menjadikan “menjadi patung hidup” sebagai jalan pintas.
Pemerhati sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Adinda Mulyani, menyatakan bahwa manusia silver adalah wajah dari kemiskinan kota yang selama ini tak tertangani secara sistemik.
“Ini bukan sekadar tren, ini ekspresi dari putus asa. Ketika sistem gagal menyediakan ruang kerja dan perlindungan sosial, maka orang akan mencari cara apapun untuk bertahan,” ujarnya.
Masalah Kesehatan dan Keselamatan
Fenomena ini juga menyisakan keprihatinan lain, yakni soal kesehatan. Cat semprot atau cat tembok yang digunakan untuk melapisi tubuh tidak dirancang untuk kulit manusia. Paparan berulang bisa menyebabkan iritasi, gangguan pernapasan, bahkan penyakit kulit kronis.
Selain itu, posisi mereka di jalan raya juga membahayakan keselamatan. Banyak dari mereka berdiri terlalu dekat dengan kendaraan yang melaju, rawan tertabrak, atau terpapar polusi berat sepanjang hari.
Tanggapan Pemerintah dan Solusi Jangka Panjang
Pemerintah daerah sejauh ini merespons fenomena manusia silver dengan pendekatan penertiban. Petugas Satpol PP kerap mengamankan mereka, namun hanya sebatas pendataan atau pembinaan singkat. Tak sedikit dari mereka yang kemudian kembali ke jalan beberapa hari setelahnya.
Solusi jangka panjang tentu lebih kompleks. Perlu ada pendekatan holistik: pelatihan kerja, bantuan sosial tepat sasaran, serta penyediaan ruang kerja informal yang legal dan layak. Tanpa intervensi sistemik, manusia silver hanya akan menjadi gejala berulang dari luka sosial yang tidak pernah disembuhkan.
Refleksi untuk Kita Semua
Kehadiran manusia silver bukan sekadar pemandangan unik atau “konten viral“. Mereka adalah cermin dari sisi gelap kehidupan kota: kemiskinan, ketimpangan, dan kegagalan sistem sosial. Kota yang maju bukan hanya tentang gedung tinggi dan jalan mulus, tetapi juga tentang seberapa baik ia memeluk yang terpinggirkan.
Kini, saat melihat manusia silver di persimpangan jalan, mungkin sudah waktunya kita bertanya: siapa yang sesungguhnya telah menjadi patung di tengah sistem yang membisu?
Komentar