Berita Viral | Berita Terpercaya | Berita Terkini | Info Berita Hari Ini | Berita Terkini
Krisis Rohingya adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling mencolok di abad ke-21. Ribuan orang terbunuh, ratusan ribu melarikan diri ke negara tetangga, dan jutaan lainnya hidup dalam ketidakpastian tanpa kewarganegaraan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa etnis Rohingya terusir dari tanah kelahiran mereka sendiri, Myanmar?
Untuk memahami konflik ini, kita harus menelusuri sejarah panjang, ketegangan etnis, dan politik identitas yang mengakar kuat di Myanmar.
1. Siapa Etnis Rohingya?
Rohingya adalah kelompok etnis Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine, bagian barat Myanmar. Mereka memiliki bahasa, budaya, dan identitas yang berbeda dari mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Buddha. Sejarah mencatat bahwa komunitas Muslim telah tinggal di wilayah ini selama berabad-abad, bahkan sejak era kerajaan Arakan (Rakhine) sebelum digabung ke wilayah Myanmar modern.
Namun, pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan tidak mengakui mereka sebagai salah satu dari 135 etnis resmi di negara tersebut.
2. Tidak Diakui sebagai Warga Negara
Salah satu akar diskriminasi terhadap Rohingya adalah penolakan kewarganegaraan. Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 secara efektif mengecualikan Rohingya dari daftar etnis yang diakui. Akibatnya, mereka tidak memiliki akses ke hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kebebasan bergerak.
Tanpa kewarganegaraan, Rohingya menjadi kelompok yang sangat rentan, hidup dalam kemiskinan, dan terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
3. Diskriminasi Sistematis dan Kekerasan
Seiring waktu, diskriminasi terhadap Rohingya berkembang menjadi kekerasan terbuka. Ketegangan antara komunitas Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya kerap berujung pada konflik, yang sering kali disertai dengan pembakaran rumah, pembunuhan, dan pemerkosaan.
Puncaknya terjadi pada tahun 2017, saat militer Myanmar melancarkan operasi militer besar-besaran dengan dalih menumpas kelompok militan Rohingya. Dalam praktiknya, operasi ini berubah menjadi tindakan brutal yang oleh PBB disebut sebagai “pembersihan etnis.” Lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dalam waktu singkat.
4. Faktor Politik dan Militer
Pemerintah Myanmar, khususnya militer (Tatmadaw), memainkan peran besar dalam membentuk narasi dan tindakan terhadap Rohingya. Nasionalisme Buddha yang kuat juga dimanfaatkan oleh militer untuk menggalang dukungan rakyat, dengan menjadikan Rohingya sebagai “ancaman terhadap persatuan nasional.”
Politik identitas ini diperkuat dengan propaganda dan pembatasan informasi, membuat warga Myanmar sendiri banyak yang memandang Rohingya secara negatif.
5. Reaksi Dunia dan Jalan Buntu
Krisis Rohingya mengundang perhatian dunia internasional. Banyak negara dan organisasi HAM mengutuk tindakan Myanmar. Namun, hingga kini belum ada solusi yang benar-benar memberikan keadilan dan kepastian bagi Rohingya.
Upaya pemulangan yang dilakukan Myanmar dan Bangladesh gagal karena Rohingya menolak kembali tanpa jaminan keamanan dan kewarganegaraan. Sementara itu, mereka tetap hidup dalam pengungsian, tanpa masa depan yang jelas.
Kesimpulan
Pengusiran etnis Rohingya dari Myanmar bukan hanya akibat konflik singkat, melainkan hasil dari sejarah panjang diskriminasi, penyangkalan identitas, dan manipulasi politik. Tanpa perubahan mendasar pada sistem hukum dan struktur sosial Myanmar, serta tekanan kuat dari komunitas internasional, nasib Rohingya akan terus berada di ujung tanduk.
Komentar
1 komentar