oleh

Minat Politik Anak Muda di Era Digital

angginews.com Kerap kali kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa anak muda saat ini tidak tertarik pada politik. Mereka disebut sebagai generasi apatis, lebih peduli pada tren viral daripada agenda kebijakan. Namun, pertanyaannya: benarkah stereotip ini? Atau justru, kita yang perlu membaca ulang bagaimana politik telah berubah di tangan generasi digital?

Artikel ini mengupas secara mendalam minat politik anak muda di era digital, bagaimana bentuk partisipasi mereka yang berbeda dari generasi sebelumnya, dan mengapa kita perlu mengubah lensa dalam memahami keterlibatan mereka dalam ruang politik.


Dulu dan Sekarang: Apa Itu Minat Politik?

Sebelum menilai apatis atau tidaknya generasi muda, penting untuk terlebih dahulu memahami bahwa definisi “minat politik” telah mengalami pergeseran. Dahulu, minat politik sering kali diukur melalui partisipasi dalam pemilu, keanggotaan partai politik, atau hadir dalam aksi protes fisik.

Namun, di era digital seperti sekarang, keterlibatan politik bisa hadir dalam bentuk yang jauh lebih beragam: dari menyuarakan opini lewat media sosial, ikut serta dalam kampanye digital, hingga membuat konten edukatif politik di YouTube dan TikTok.

Dengan kata lain, anak muda tidak kehilangan minat politik—mereka hanya mengubah caranya mengekspresikan kepedulian politik sesuai dengan realitas zaman yang serba digital.


Generasi Z: Digital Natives dengan Kesadaran Sosial Tinggi

Generasi Z, atau mereka yang lahir setelah tahun 1997, adalah kelompok yang tumbuh besar dalam arus informasi cepat dan keterhubungan global. Mereka memiliki akses hampir tak terbatas terhadap berita, diskusi, dan gerakan sosial-politik, baik di dalam maupun luar negeri.

Lebih dari itu, banyak studi menunjukkan bahwa Generasi Z memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu seperti keadilan sosial, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan hak minoritas. Namun demikian, mereka tidak serta-merta mempercayai institusi formal seperti partai politik atau pemerintah.

Inilah sebabnya mengapa partisipasi mereka lebih bersifat horizontal, spontan, dan berbasis komunitas, dibandingkan struktur hierarkis konvensional. Mereka lebih suka berkontribusi melalui petisi online, galang dana untuk korban ketidakadilan, atau mengangkat topik-topik penting melalui Instagram Story.


Aktivisme yang Tak Terlihat: Politik di Balik Layar

Ketika para pengamat menyebut anak muda apatis karena tidak datang ke TPS atau tak tertarik menjadi anggota partai, mereka kerap mengabaikan bahwa aktivisme digital kini telah menjadi bentuk politik baru. Bahkan, banyak pergerakan politik besar yang dimulai dari klik dan hashtag.

Kampanye seperti #ReformasiDikorupsi, #BlackLivesMatter, hingga #SaveAru menunjukkan bagaimana generasi muda memobilisasi kekuatan secara digital. Meskipun mereka tidak duduk di parlemen, kekuatan narasi dan jaringan sosial mereka sanggup menggerakkan opini publik dan memaksa perubahan.

Lebih lanjut, melalui berbagai platform seperti Twitter, TikTok, dan YouTube, anak muda menjadi produsen wacana, bukan sekadar konsumen. Ini menjadikan mereka aktor aktif dalam membentuk lanskap politik kontemporer.


Skeptisisme Bukan Apatisme

Salah satu alasan anak muda terlihat “menjauh” dari politik formal adalah menurunnya kepercayaan terhadap sistem dan aktor politik. Janji-janji kampanye yang tak ditepati, korupsi yang terus berulang, serta birokrasi yang lamban menumbuhkan rasa frustrasi dan skeptisisme.

Namun, skeptisisme ini justru merupakan bentuk kesadaran politik yang kritis. Ketika anak muda mengkritik sistem, itu bukan berarti mereka tidak peduli—melainkan sebaliknya, mereka peduli tetapi kecewa.

Karenanya, kita perlu berhenti menyebut mereka “generasi apatis” dan mulai mendengar cara mereka mendefinisikan partisipasi politik yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.


Hambatan Keterlibatan Politik Anak Muda

Meskipun ada banyak bentuk partisipasi politik baru, tetap ada hambatan struktural dan kultural yang menghambat anak muda untuk terlibat lebih jauh:

  1. Kurangnya pendidikan politik yang relevan di sekolah. Materi yang disampaikan sering kali normatif dan tidak kontekstual.

  2. Minimnya ruang politik inklusif. Banyak partai politik masih didominasi oleh senioritas dan birokrasi yang sulit ditembus anak muda.

  3. Stigma terhadap aktivisme. Masih ada anggapan bahwa anak muda yang vokal adalah “pemberontak” atau “tidak sopan”.

  4. Ketimpangan akses digital. Tidak semua anak muda memiliki perangkat dan koneksi internet memadai untuk terlibat aktif secara online.

Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, kita bisa membuka lebih banyak jalan agar potensi politik anak muda bisa berkembang lebih optimal.


Membangun Jembatan: Bukan Menuntut Tapi Mendekatkan

Daripada menuntut anak muda untuk menyesuaikan diri dengan sistem lama, sebaiknya sistemlah yang berbenah untuk membuka ruang partisipasi yang lebih segar, transparan, dan relevan.

Berikut adalah beberapa pendekatan yang bisa dilakukan:

  • Mengadopsi kanal digital resmi untuk partisipasi publik (misalnya e-voting, e-petition, konsultasi daring).

  • Memberikan ruang kreasi dan ekspresi di ranah kebijakan publik—seperti sayembara solusi, civic tech, dan forum pemuda.

  • Memasukkan pendidikan politik berbasis proyek dan pengalaman nyata ke dalam kurikulum sekolah.

  • Membangun kemitraan antara pemerintah, komunitas lokal, dan influencer muda yang punya dampak besar di media sosial.


Kesimpulan: Generasi Apatis Adalah Mitos

Pada akhirnya, menyebut generasi muda sebagai apatis adalah bentuk kemalasan analisis. Justru, mereka sedang aktif-aktifnya mendefinisikan ulang apa itu politik dan bagaimana cara berpartisipasi secara bermakna di dalamnya.

Era digital memang telah mengubah wajah politik. Tapi perubahan ini bukan alasan untuk pesimis. Justru, inilah peluang untuk menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif, kreatif, dan responsif terhadap aspirasi zaman.

Anak muda tidak butuh diajari untuk peduli, mereka hanya perlu diberi ruang untuk didengar dan dipercaya.

 

baca juga : topik malam

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *