oleh

Prabowo Perintahkan Deregulasi: Industri Tekstil Bisa Kolaps

Prabowo Subianto telah memerintahkan penghapusan berbagai kuota impor untuk barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Meskipun kebijakan ini bertujuan meringankan beban dunia usaha dengan mempermudah akses bahan baku dan barang modal, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperingatkan bahwa deregulasi ini bisa membuat 70 % pabrik tekstil nasional kolaps akibat derasnya arus barang impor murah yang menekan margin produsen lokal. Pemerintah, lewat Bapanas dan DPR, berargumen bahwa pelonggaran kuota akan menyuntik angin segar bagi kelancaran perdagangan dan menekan harga kebutuhan pokok. Namun begitu, para ahli ekonomi dan lembaga think‑tank seperti Indef memperingatkan risiko banjir produk luar negeri yang dapat melemahkan daya saing industri dalam negeri, serta potensi hilangnya lapangan kerja massal.

Latar Belakang Kebijakan Deregulasi

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan instruksi ini dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta Selatan pada 18 April 2025, ketika beliau menegaskan bahwa “siapa yang mampu, siapa yang mau impor silakan, bebas” guna mempercepat pemulihan ekonomi pasca‑pandemi. Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) ditugaskan meninjau kembali sistem kuota dan tarif yang selama ini dianggap menghambat arus barang strategis. Sementara itu, DPR menyambut positif langkah ini sebagai “angin segar” dalam reformasi kebijakan impor, namun juga meminta evaluasi mitigasi dampak bagi sektor padat karya.

Ancaman bagi Industri Tekstil

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperingatkan bahwa sekitar 70 % pelaku industri tekstil dapat terpaksa menghentikan kegiatan produksi jika kuota impor benar‑benar dihapus. Para pengusaha tekstil mencatat bahwa selama ini mereka mengandalkan proteksi kuota untuk menjaga harga jual agar tetap kompetitif melawan produk impor dari China, Vietnam, dan Kamboja. Jika tidak ada pembatasan, pasar domestik diprediksi bakal dibanjiri kain murah, sehingga pabrik dalam negeri kehilangan pangsa pasar dan menghadapi tekanan margin yang sangat tipis.

Alasan Pemerintah Melonggarkan Kuota

Pemerintah menilai bahwa berbagai kuota impor selama ini menyebabkan ketidakpastian pasokan bahan baku industri dan mendorong biaya logistik yang tinggi. Dengan deregulasi, birokrasi dijanjikan dipangkas, sementara pelaku usaha diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa hambatan kuantitatif. Selain itu, pelaku industri hulu — seperti impor kapas AS — dipermudah, karena API sendiri pernah mengusulkan peningkatan impor kapas hingga 50 % untuk menutup defisit pasokan.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Sejumlah analis memperingatkan bahwa meski harga produk tekstil dalam negeri mungkin turun, pengurangan lapangan kerja dapat jauh lebih signifikan dibandingkan potensi efisiensi biaya. Industri tekstil dan produk jadi menyerap jutaan pekerja, terutama di daerah sekitar Bandung, Semarang, dan Surakarta. Dengan penutupan pabrik massal, tingkat pengangguran diperkirakan meningkat, sementara daya beli masyarakat — yang memang menjadi alasan deregulasi — bisa menurun akibat kehilangan pendapatan.

Respon Pemangku Kepentingan

Asosiasi Pertekstilan Indonesia

API menegaskan bahwa pemerintah perlu menyiapkan paket bantuan dan insentif bagi pabrik tekstil agar mampu bertransformasi menuju industri 4.0, ketimbang langsung mencabut proteksi impor.

Indef dan Lembaga Think‑Tank

Indef menyarankan agar kebijakan ini dijalankan secara bertahap, dimulai dari evaluasi kuota untuk komoditas non‑strategis, sembari memperkuat ekosistem industri lokal.

DPR dan Bapanas

DPR meminta jaminan bahwa penurunan proteksi tidak akan mengorbankan kepentingan pekerja, dan Bapanas menekankan komitmen pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan stabilitas harga dengan keberlangsungan manufaktur dalam negeri.

Contoh Kasus: Sritex

Pada Oktober 2024, Sritex — salah satu tekstil terbesar Indonesia — menghadapi ancaman kebangkrutan sebelum pemerintah mengintervensi, menandakan lemahnya daya tahan industri dalam menghadapi gejolak pasar global. Meskipun bailout Sritex dilakukan untuk mencegah PHK massal, kasus ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan kebijakan yang tepat, pabrik tekstil besar pun rentan kolaps saat dihadapkan pada kompetisi harga impor.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Pelaksanaan Bertahap: Mulai dari evaluasi kuota non‑strategis, sambil memantau dampak real‑time.

  2. Insentif Modernisasi: Subsidi peralihan teknologi Industry 4.0 agar pabrik mampu menekan biaya produksi tanpa proteksi kuota.

  3. Skema Proteksi Sementara: Melakukan safeguarding measures seperti tarif anti‑dumping jika terjadi lonjakan impor tiba‑tiba.

  4. Penguatan Rantai Nilai Lokal: Dorongan pengembangan kapas dan hulu tekstil dalam negeri agar bahan baku tidak sepenuhnya bergantung impor.

Kesimpulan

Meskipun deregulasi impor yang diperintahkan Prabowo dapat menurunkan harga bahan baku dan meningkatkan akses barang modal, risiko kolapsnya 70 % pabrik tekstil nasional menuntut mitigasi serius. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan harus disertai langkah‑langkah transisi, insentif teknologi, dan proteksi selektif untuk memastikan industri tekstil tetap bertahan dan terus menyerap tenaga kerja.

berita terkini : kabid dlh tangsel diduga korupsi sampah rp75 miliar

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar