oleh

Sebuah Tinjauan Sosiologis Terhadap Tren Mistisisme Pada Layar-Layar Kehidupan Modern

Pendahuluan: Mistisisme Tak Lagi Milik Masa Lalu

angginews.com Mistisisme, yang dahulu diasosiasikan dengan kehidupan para pertapa, ajaran kuno, dan praktik keagamaan tertutup, kini kembali menjadi bagian dari arus utama. Uniknya, kebangkitan mistisisme ini muncul bukan di tengah heningnya gua atau biara, tetapi justru di layar-layar digital, gaya hidup modern, hingga dalam ruang-ruang urban yang serba cepat dan sibuk.

Melalui pendekatan sosiologis, kita dapat memahami bagaimana tren mistisisme modern tumbuh, mengapa masyarakat urban begitu tertarik, dan apa makna sosiologis di balik pencarian spiritual dalam balutan teknologi dan kapitalisme.

Transformasi Mistisisme dalam Konteks Modern

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa mistisisme tidak selalu identik dengan hal-hal gaib atau supranatural. Dalam konteks sosiologis, mistisisme lebih luas—yakni mencakup pencarian makna, ketenangan batin, dan hubungan spiritual di luar institusi keagamaan formal. Dalam masyarakat modern yang semakin sekuler dan materialistik, mistisisme justru menjadi ruang alternatif untuk mengisi kekosongan eksistensial.

Tidak hanya melalui praktik meditasi, tarot, atau astrologi, tren mistisisme kini juga mengambil bentuk digital. Aplikasi ramalan, podcast spiritual, hingga influencer yang membahas “energi semesta” menjadi pintu masuk baru yang memikat generasi muda.

Masyarakat Urban dan Kekosongan Spiritual

Dengan demikian, mengapa masyarakat modern yang serba maju dan rasional justru tertarik pada hal-hal mistik? Salah satu jawaban utamanya adalah alienasi.

Menurut Karl Marx, manusia modern cenderung terasing dari diri, dari pekerjaan, bahkan dari makna hidup. Kesenjangan sosial, tekanan ekonomi, dan kehidupan yang kompetitif menciptakan kekosongan spiritual yang sulit diisi oleh konsumsi atau pencapaian materi semata.

Karena itulah, mistisisme menjadi bentuk pelarian sekaligus pencarian. Banyak orang mencari rasa kendali dalam dunia yang tak terduga, dan mistisisme menawarkan narasi yang terasa lebih personal, fleksibel, dan penuh harapan.

Peran Media dan Budaya Populer

Lebih jauh lagi, tidak dapat dipungkiri bahwa media dan budaya populer memainkan peran besar dalam menyebarkan tren mistisisme. Film, serial, dan musik banyak mengangkat tema spiritual dan supranatural. Misalnya, serial seperti The OA, Midnight Mass, atau film Doctor Strange menggabungkan elemen spiritual, kosmik, dan eksistensial dengan teknologi naratif modern.

Selain itu, media sosial menjadi ruang di mana mistisisme dipopulerkan. Banyak konten kreator membagikan afirmasi, pembacaan tarot harian, atau tutorial ritual “manifestasi energi positif.” Hal ini menandakan bahwa mistisisme kini menjadi bagian dari gaya hidup, bahkan identitas sosial di platform digital.

Komodifikasi Spiritualitas: Antara Autentisitas dan Konsumerisme

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tren mistisisme juga menghadapi dilema: spiritualitas kini telah menjadi komoditas. Produk-produk seperti kristal penyembuhan, lilin energi, buku self-help spiritual, hingga kelas meditasi premium dijual bebas dengan narasi “penyembuhan batin.”

Di satu sisi, ini mencerminkan meningkatnya minat publik terhadap hal-hal non-material. Akan tetapi, dari sudut pandang sosiologis, hal ini juga menunjukkan bagaimana kapitalisme dapat mengkomodifikasi segala aspek kehidupan, termasuk pencarian makna dan ketenangan.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting: apakah tren ini sungguh mencerminkan kebutuhan spiritual? Ataukah hanya menjadi gaya hidup semu yang dijual dalam kemasan estetik dan algoritma media sosial?

Mistisisme dan Identitas Diri

Dalam masyarakat modern yang menekankan individualitas, mistisisme juga berperan sebagai bagian dari pembentukan identitas diri. Banyak orang kini mendefinisikan diri mereka sebagai “spiritual but not religious.” Artinya, mereka mungkin menolak agama institusional, namun tetap percaya pada kekuatan energi, intuisi, dan pengalaman batin.

Hal ini menandakan adanya pergeseran dari keyakinan kolektif menuju spiritualitas personal. Dalam sosiologi, ini disebut sebagai privatisasi agama, di mana keyakinan menjadi urusan individu, tidak lagi ditentukan oleh institusi atau dogma.

Dengan demikian, mistisisme bukan hanya tren sesaat, tetapi refleksi dari transformasi sosial yang lebih luas—yakni perubahan relasi manusia dengan makna hidup, kepercayaan, dan komunitas spiritual.

Tantangan dan Kritik Sosial

Walaupun demikian, tren mistisisme di era modern tidak lepas dari kritik. Sebagian kalangan menganggap bahwa gelombang spiritualitas baru ini terlalu dangkal dan cenderung menyederhanakan isu psikologis maupun sosial.

Contohnya, banyak konten mistis yang mengabaikan faktor struktural dalam menjelaskan masalah hidup. Alih-alih mendorong tindakan kolektif atau refleksi mendalam, narasi spiritual populer sering kali justru menyalahkan individu atas “energi negatif” yang dirasakannya.

Di sisi lain, maraknya praktik spiritual juga rawan disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab, seperti dukun modern yang menawarkan solusi instan melalui platform digital, tanpa dasar etika atau keilmuan.

Arah Masa Depan: Mistisisme sebagai Ruang Dialog Sosial?

Meski demikian, tren ini tidak sepenuhnya harus dilihat negatif. Justru, tren mistisisme bisa menjadi ruang baru bagi dialog sosial dan spiritual lintas latar belakang. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi secara politik dan agama, pendekatan spiritual yang inklusif dapat menjadi jembatan bagi solidaritas baru.

Lebih dari itu, mistisisme juga bisa menjadi sarana refleksi diri, perenungan atas relasi manusia dengan alam, teknologi, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Dengan pendekatan kritis dan etis, spiritualitas modern berpotensi memperkaya ruang publik, bukan hanya sebagai pelarian, melainkan sebagai wacana pembebasan dan penyadaran diri.

Kesimpulan: Mistisisme, Cermin dari Zaman Kita

Akhirnya, tren mistisisme di tengah kehidupan modern merupakan refleksi kompleks dari kebutuhan manusia akan makna, kedamaian, dan keterhubungan yang lebih dalam. Melalui tinjauan sosiologis, kita dapat memahami bahwa spiritualitas tidak mati di zaman digital—justru, ia bertransformasi mengikuti bentuk-bentuk baru kehidupan.

Sebagai masyarakat yang terus berkembang, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita menjadikan mistisisme sekadar produk gaya hidup? Atau justru memanfaatkannya sebagai ruang refleksi yang lebih dalam, kritis, dan membebaskan?

Jawaban atas pertanyaan itu, tentu kembali kepada masing-masing individu. Namun yang pasti, mistisisme bukan sekadar tren—ia adalah cermin dari kebutuhan terdalam manusia modern untuk memahami dirinya dan dunia.

Baca Juga : Berita Terkini