Tampak Siring di Bali dikenal luas sebagai pusat spiritual yang menggabungkan Pura Tirta Empul, kompleks Gunung Kawi, dan Istana Tampak Siring. Pura Tirta Empul dibangun pada abad ke‑10 dan memiliki sumber mata air suci yang dipercaya menyembuhkan dan membersihkan jiwa dalam ritual Melukat. Kompleks Gunung Kawi menampilkan candi batu ukir kuno yang menjadi tempat pemujaan leluhur, sementara lanskap Subak di sekitarnya diakui UNESCO sebagai warisan budaya pertanian Bali. Masyarakat lokal hingga peziarah Hindu memaknai tempat ini penuh kesucian, meski kehadiran pariwisata menimbulkan tantangan pelestarian.
Sejarah dan Latar Belakang
Asal Usul Nama dan Lokasi
Nama “Tampak Siring” secara harfiah merujuk pada “mata air yang muncul dari celah batu”, menggambarkan kehadiran sumber suci di Pura Tirta Empul yang mengalirkan air bening dari perut bumi. Desa ini berada di kabupaten Gianyar, sekitar 38 km utara Denpasar dan 15 km timur laut Ubud, sehingga menjadi simpul budaya dan spiritual bagi kawasan Bali tengah. Letaknya yang dikelilingi sawah terasering dan perkebunan kopi menambah kesan sakral serta kedamaian alam di sekitarnya.
Pendirian Pura Tirta Empul
Pura Tirta Empul diperkirakan berdiri pada tahun 962 Masehi di masa pemerintahan Dinasti Warmadewa, ditujukan untuk memuja Dewa Wisnu, dewa air dalam agama Hindu. Prasasti kuno yang ditemukan menegaskan bahwa kuil ini telah digunakan sebagai tempat penyucian selama lebih dari seribu tahun, dengan nama “Tirta Empul” yang berarti “mata air suci”. Smithsonian National Museum of Asian Art mencatat bahwa bilik pemandian pertama sudah ada sejak akhir abad ke‑9 atau awal abad ke‑10, menegaskan usia panjang tradisi Melukat di sini.
Istana Tampak Siring
Selain kuil, Tampak Siring juga menjadi lokasi Istana Tampak Siring —residensi resmi Presiden Republik Indonesia— yang dibangun antara 1957 dan 1963 atas instruksi Presiden Sukarno. Kompleks ini terdiri dari empat bangunan utama dengan arsitektur campuran modern dan tradisional Bali, mencerminkan keselarasan politik dan budaya dalam ruang sakral kontemporer.
Makna Sakral Pura Tirta Empul
Sumber Mata Air Suci
Air di Pura Tirta Empul mengalir melalui 13 pancuran yang dipersembahkan untuk ritus penyucian diri (Melukat). Umat Hindu Bali percaya air tersebut mengandung khasiat menyembuhkan penyakit fisik dan menghapus dosa spiritual. Pancuran dengan relief dan patung-patung dewa menegaskan kesan mistis, di mana pengunjung harus melakukan serangkaian doa serta gerakan tubuh ritual untuk mengakses energi suci air.
Ritual Melukat
Melukat adalah ritual mandi suci yang dimulai dari bilik pertama hingga terakhir, melibatkan doa, mantera, dan penataan air secara simbolis untuk membersihkan tubuh, pikiran, dan jiwa. Kehadiran ratusan peziarah setiap hari—terutama pada purnama dan tilem full moon—membuktikan peran Tirta Empul sebagai pusat penyucian yang masih hidup hingga kini.
Kompleks Gunung Kawi
Candi Batu dan Makna Spiritual
Gunung Kawi terletak tidak jauh dari Tirta Empul; kompleks ini menampilkan sepuluh candi dipahat di tebing batu andesit pada abad ke‑11, yang dipercaya sebagai makam raja dan bangsawan kuno Bali. Struktur candi menghadap ke aliran Sungai Pakerisan, melambangkan keterkaitan air dan kehidupan spiritual—mirip dengan konsep subak di pertanian Bali.
Hubungan dengan Lanskap Subak
Lanskap Subak Pakerisan—sistem irigasi tradisional Bali—diakui UNESCO sebagai “Cultural Landscape of Bali Province” sejak 2012, mencakup area di sekitar Gunung Kawi dan Tirta Empul. Pengakuan ini menegaskan integrasi nilai sakral dan fungsional pertanian, di mana keberlanjutan ekosistem dan ajaran spiritual berjalan beriringan.
Perspektif Budaya dan Pelestarian
Perayaan & Upacara Keagamaan
Beragam festival Hindu Bali seperti Galungan, Kuningan, dan Odalan (hari jadi pura) diselenggarakan di Pura Tirta Empul dan Gunung Kawi, melibatkan pawai, penataan sesajen, dan tari sakral yang memperkuat ikatan komunitas dengan leluhur. Prosesi ini memadukan unsur tari, musik gamelan, dan nyanyian mantera, menjadikan Tampak Siring sebagai pusat kegiatan budaya tahunan.
Pelestarian dan Tantangan Pariwisata
Kepopuleran Tampak Siring di kalangan wisatawan domestik dan mancanegara memicu peningkatan jumlah pengunjung hingga ribuan per hari, yang berpotensi menekan kelestarian situs melalui erosi, polusi, dan komersialisasi upacara. Pihak pengelola pura bersama pemerintah daerah menerapkan kuota pengunjung, edukasi kesucian tempat, serta regulasi pemandu lokal untuk menjaga keseimbangan antara nilai sakral dan aspek ekonomi pariwisata.
Apakah Tampak Siring Sakral dan Suci?
Pandangan masyarakat lokal dan umat Hindu Bali sangat menegaskan bahwa Tampak Siring —terutama Pura Tirta Empul dan Gunung Kawi— adalah tempat suci dengan kekuatan spiritual yang nyata. Sumber mata air suci Tirta Empul dijaga kesuciannya melalui ritual berkelanjutan, sementara kehadiran Istana Presiden menambah dimensi sakral kenegaraan. Meskipun disibukkan wisatawan, nilai religius tetap menjadi pusat perhatian utama dalam upaya pelestarian.
Kesimpulan
Tampak Siring jelas memiliki khazanah sakral yang melekat dalam budaya Bali: dari sejarah kuno Tirta Empul, keindahan arsitektur Gunung Kawi, hingga peran subak UNESCO yang mengiringi kehidupan spiritual masyarakat. Tempat ini bukan sekadar objek wisata, melainkan pusat religius hidup yang membutuhkan pemahaman dan penghormatan mendalam. Dengan regulasi pelestarian dan edukasi, sakralitas Tampak Siring dapat terus terjaga untuk generasi mendatang.
baca juga : songkran 2025 banjir wisatawan thailand meriah total
Komentar