angginews.com “Sudah umur 20 tahun, tapi masih begini-begini saja?” Pertanyaan ini, meskipun terdengar biasa, seringkali menjadi sumber kecemasan besar bagi generasi muda saat ini. Terlebih lagi, dengan kehadiran media sosial, standar pencapaian hidup seolah-olah sudah ditentukan oleh postingan orang lain. Sukses di usia muda, memiliki bisnis sendiri, kuliah ke luar negeri, atau menikah muda—semuanya terlihat seolah-olah harus diraih sebelum menginjak usia 25 tahun.

Namun, apakah ini memang sebuah kewajiban? Ataukah hanya konstruksi yang dibentuk oleh arus digitalisasi dan budaya perbandingan yang semakin kuat?

Era Media Sosial dan Ilusi Kesuksesan

Media sosial, dari Instagram hingga TikTok, menjadi etalase kehidupan yang sering kali hanya menampilkan sisi terbaik dari seseorang. Foto traveling ke luar negeri, momen-momen prestisius seperti wisuda, pernikahan, hingga keberhasilan bisnis, disajikan dalam potongan singkat yang mengaburkan realita perjuangan di baliknya.

Akibatnya, tak sedikit anak muda yang mulai merasa tertinggal. Padahal, sangat mungkin apa yang mereka lihat hanyalah puncak gunung es dari realita yang jauh lebih kompleks. Sayangnya, perbandingan tidak mengenal konteks.

Lebih lanjut, media sosial seakan-akan menciptakan aturan tidak tertulis bahwa sukses harus datang di usia 20-an. Bila belum punya pencapaian besar, maka dianggap “gagal”. Inilah yang menyebabkan munculnya fenomena quarter life crisis, di mana individu usia 20–30 tahun merasa cemas, bingung, dan tidak yakin terhadap arah hidup mereka.

Ekspektasi Masyarakat dan Tekanan Psikologis

Tak hanya dari media sosial, tekanan juga datang dari keluarga, lingkungan, dan sistem pendidikan. Banyak yang mengharapkan kita untuk segera “jadi sesuatu” di usia muda. Padahal, tidak semua orang memiliki kecepatan dan jalan hidup yang sama.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar dari kita tidak diberikan ruang untuk mencari jati diri secara alami. Ekspektasi sosial sering kali menuntut agar kita segera mapan, meskipun kita sendiri belum mengenal potensi dan keinginan terdalam.

Akibatnya, banyak anak muda terjebak dalam pekerjaan yang tidak mereka sukai, hubungan yang tidak sehat, atau gaya hidup yang penuh pencitraan. Semua dilakukan demi mengejar validasi dari dunia luar yang sesungguhnya tidak terlalu peduli.

Realita: Hidup Bukan Perlombaan

Namun, mari kita lihat kenyataan yang lebih bijak: hidup bukanlah perlombaan sprint. Tidak semua orang akan berhasil pada usia 20-an. Bahkan, banyak tokoh besar dunia yang baru menemukan jalannya di usia 30-an, 40-an, atau bahkan lebih. Misalnya, Oprah Winfrey baru mencapai puncak karier di usia 32 tahun, sedangkan Colonel Sanders mendirikan KFC di usia 65 tahun.

Lebih dari itu, keberhasilan sejati tidak selalu bisa diukur dari pencapaian materi. Kadang, bertahan dari tekanan mental, menjaga kesehatan jiwa, atau berani meninggalkan zona nyaman untuk mengejar mimpi sejati adalah bentuk kesuksesan yang lebih bermakna.

Dengan demikian, daripada memaksakan diri untuk memenuhi standar palsu, akan jauh lebih sehat jika kita fokus pada perkembangan diri yang otentik dan berkelanjutan.

Langkah Nyata untuk Keluar dari Tekanan

Untuk mulai menyembuhkan diri dari tekanan sosial dan media sosial, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

  1. Kurangi waktu media sosial. Gunakan fitur pengingat screen time agar tidak terjebak dalam perbandingan yang terus-menerus.

  2. Refleksi pribadi. Tanyakan pada diri sendiri: apa yang benar-benar saya inginkan? Apa yang membuat saya bahagia?

  3. Bergaul dengan orang yang suportif. Lingkungan yang positif sangat berpengaruh pada proses penyembuhan dan pertumbuhan pribadi.

  4. Jangan takut gagal. Ingatlah bahwa gagal adalah bagian dari proses menuju keberhasilan.

  5. Tentukan definisi sukses versi kamu sendiri. Sukses tidak harus sama dengan orang lain.

Kesimpulan: Hidupmu Milikmu, Bukan Milik Dunia Maya

Akhirnya, hidup adalah proses panjang yang tidak bisa disamakan antara satu orang dengan yang lain. Usia 20 tahun bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan mengenal diri, membentuk nilai, dan membangun kehidupan yang berarti. Maka, jika saat ini kamu merasa belum menjadi siapa-siapa, itu bukan kegagalan—itu adalah bagian dari perjalanan.

Baca Juga : Berita Terkini

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed