oleh

Self-Healing atau Self-Ignoring? Ketahui Batasnya

angginews.com Istilah self-healing kini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, terutama di media sosial. Kutipan inspiratif tentang memaafkan diri, journaling, me time, hingga mandi aromaterapi, semua menjadi representasi visual dari praktik penyembuhan diri. Di permukaannya, ini terlihat menenangkan, bahkan memberdayakan.

Namun, seiring meningkatnya popularitasnya, muncul pula pertanyaan penting: Apakah semua yang kita anggap self-healing benar-benar menyembuhkan? Atau justru menyembunyikan luka yang lebih dalam?

Dalam artikel ini, mari kita telusuri lebih jauh: kapan self-healing benar-benar menjadi proses yang sehat, dan kapan ia berubah menjadi self-ignoring, alias penyangkalan emosi yang terselubung.


Self-Healing: Kekuatan Pulih dari Dalam

Self-healing pada dasarnya adalah upaya individu untuk memulihkan keseimbangan emosional, fisik, dan mental tanpa bergantung secara langsung pada tenaga profesional. Bentuknya bisa sangat beragam: mulai dari meditasi, olahraga ringan, journaling, membaca buku inspiratif, mendengarkan musik, hingga sekadar berdiam diri dan memberi waktu bagi diri sendiri.

Lebih dari sekadar tren, self-healing muncul dari kebutuhan akan kontrol diri, terutama di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan. Ini menjadi alternatif bagi mereka yang belum atau tidak ingin menjalani terapi formal. Dan dalam banyak kasus, self-healing memang sangat membantu.


Manfaat Nyata dari Self-Healing

Saat dilakukan dengan kesadaran penuh, self-healing dapat:

  • Mengurangi stres ringan dan tekanan harian.

  • Membantu seseorang mengenali emosinya sendiri.

  • Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness).

  • Memberi ruang untuk jeda dan refleksi dari hiruk-pikuk hidup.

Misalnya, menuliskan isi hati setiap malam membantu seseorang memproses rasa kecewa yang selama ini dipendam. Atau berjalan kaki rutin di pagi hari mampu menurunkan tingkat kecemasan yang menghantui selama berminggu-minggu.

Namun demikian, tidak semua self-healing setara.


Ketika Self-Healing Menjadi Self-Ignoring

Sayangnya, istilah “self-healing” juga mulai dipakai secara longgar—kadang justru untuk menghindari masalah sebenarnya. Misalnya, seseorang yang menghadapi trauma masa lalu memilih untuk “healing” dengan liburan tanpa pernah memproses lukanya secara mendalam.

Di titik inilah kita memasuki wilayah self-ignoring, yaitu kondisi di mana seseorang meyakinkan dirinya bahwa ia sedang menyembuhkan diri, padahal sebenarnya menghindari emosi atau masalah yang menyakitkan.

Contohnya:

  • Alih-alih menghadapi konflik dalam hubungan, seseorang memilih “me time” terus-menerus tanpa komunikasi.

  • Merasa burnout dalam pekerjaan, tapi hanya melakukan spa tanpa mempertimbangkan perubahan gaya hidup yang lebih sehat.

  • Menghindari emosi marah atau sedih dengan alasan “harus positif thinking”, padahal emosi itu perlu diterima dulu sebelum dilepaskan.


Kenali Batasnya: Self-Care Bukan Pelarian

Self-healing menjadi tidak sehat ketika:

  1. Hanya jadi pengalihan dari realita yang seharusnya dihadapi.

  2. Berlarut-larut tanpa perubahan nyata dalam pola pikir atau perilaku.

  3. Dipakai sebagai pembenaran untuk menghindari tanggung jawab emosional atau sosial.

  4. Mengabaikan bantuan profesional yang sebenarnya sudah dibutuhkan.

Dengan kata lain, jika healing hanya membuatmu diam di tempat tanpa pemahaman yang lebih dalam, itu bukan lagi penyembuhan—itu bentuk penyangkalan.


Self-Healing Sehat: Bukan Antiterapi, Tapi Prakomplementer

Perlu ditekankan bahwa self-healing bukan pengganti terapi profesional, melainkan pelengkap. Untuk masalah ringan, seperti stres harian atau kelelahan mental biasa, self-care dan self-healing bisa efektif.

Namun, untuk kondisi yang lebih kompleks seperti:

  • Trauma mendalam

  • Depresi klinis

  • Gangguan kecemasan

  • Luka batin dari kekerasan atau pelecehan

…intervensi profesional tetap dibutuhkan.

Justru, self-healing bisa menjadi jembatan menuju terapi profesional. Ketika seseorang lebih mengenali dirinya lewat self-care, ia akan lebih terbuka terhadap proses penyembuhan yang lebih dalam dan terstruktur.


Menemukan Keseimbangan: Refleksi Kritis dalam Proses Healing

Agar tidak terjebak dalam self-ignoring, berikut beberapa pertanyaan reflektif yang bisa digunakan:

  • Apakah aku menggunakan ini untuk menghindari hal yang lebih berat?

  • Apakah aku merasa lebih baik, atau hanya merasa “teralihkan” sesaat?

  • Sudahkah aku jujur pada diriku sendiri tentang apa yang sedang kuhadapi?

  • Apakah aku menolak bantuan orang lain karena gengsi atau takut terlihat lemah?

Menjawab pertanyaan ini dengan jujur bisa membantumu memahami apakah langkahmu saat ini merupakan bagian dari penyembuhan, atau justru bentuk perlawanan terhadap kenyataan.


Tanda Kamu Membutuhkan Bantuan Profesional

Jika kamu mengalami hal-hal berikut, sudah saatnya melibatkan orang lain:

  • Merasa sedih, cemas, atau kosong dalam waktu lama.

  • Self-healing tidak lagi membawa kelegaan.

  • Mulai muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri.

  • Sulit menjalani aktivitas harian seperti biasa.

  • Merasa tidak dimengerti meski sudah mencoba berbagai cara sendiri.

Perlu diingat: meminta bantuan bukan tanda kelemahan, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri.


Kesimpulan: Sehat Secara Emosional Dimulai dari Kejujuran

Self-healing bisa menjadi kekuatan luar biasa—asal tidak menjadi kedok untuk lari dari kenyataan. Kesehatan emosional adalah hasil dari keberanian untuk melihat ke dalam, menghadapi yang tak nyaman, dan bertumbuh dari sana.

Kadang langkahnya kecil: menulis jurnal, bicara jujur pada sahabat, atau duduk diam dalam keheningan. Tapi jika dilakukan dengan kesadaran penuh, itulah langkah besar menuju penyembuhan sejati.

Jadi, apakah kamu sedang benar-benar healing? Atau sedang menunda rasa sakit yang belum selesai?

Mari kita belajar membedakannya—karena jiwa kita layak untuk dipulihkan, bukan dihindari.

baca juga : Liputan malam

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *