Berita viral Pada pertengahan April 2025, Presiden Donald Trump mengisyaratkan kenaikan tarif impor barang China hingga mencapai level mendekati 250%, melanjutkan eskalasi perang dagang yang telah berlangsung sejak jabatan pertamanya dan memicu reaksi keras dari Beijing serta kekhawatiran gangguan rantai pasok global.
đ Latar Belakang Eskalasi Tarif
Sejak Februari 2025, Trump telah menetapkan tarif dasar 10% untuk sebagian besar impor China di bawah Executive Order 14195, dengan alasan menekan aliran narkotika dan defisit perdagangan.
Pada 4 April, tambahan âreciprocal tariffsâ sebesar 34% diterapkan di atas tarif lama, menaikkan tarif efektif minimal menjadi 54% untuk hampir semua produk China.
Beberapa minggu kemudian, tarif produk tertentuâkhususnya elektronik dan suku cadang mesinâdidorong hingga 76% dengan memanfaatkan kewenangan Section 301 dari Trade Act 1974.
Merespons, China meluncurkan tarif balasan hingga 125% pada impor AS, menuduh kebijakan AS âlelucon sejarah ekonomi duniaâ.
đ Gelombang Kenaikan Terbaru
Pada 9 April, Trump mengumumkan pembatalan pengecualian bagi China dan menaikkan tarif impor negara tersebut menjadi 125%, sambil menurunkan tarif untuk sebagian besar negara lain ke 10%.
Selang dua hari, tarif itu kembali ditambah menjadi 145% untuk menutup celah pengalihan melalui negara ketiga.
Hingga 11 April, Beijing membalas dengan kenaikan tarif balasan menjadi 125%, sekaligus menyatakan tidak akan merespons kenaikan berikutnya.
Di tengah dinamika ini, sebuah laporan dari Business Insider memaparkan bahwa efek kumulatif tarif AS (125% + 100% + 2,5%) pada beberapa produk, seperti mobil listrik, sudah menembus 247,5%, hampir mencapai 250%.
đïž Langkah Kebijakan dan Strategi AS
Administrasi Trump menyebut kenaikan tarif ekstrem ini sebagai upaya âmemaksa China kembali ke meja negosiasiâ dan memperlemah jaringan pasokan manufaktur Beijing.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih menegaskan tidak ada lagi pengecualian bagi China, termasuk untuk paket kecil (small parcels) dan produk farmasi, demi memulangkan manufaktur strategis ke dalam negeri.
Penasihat perdagangan Gedung Putih juga mengungkapkan rencana memblokir perusahaan China yang mencoba menjebol tarif melalui perantara di Asia Tenggara dan India.
âïž Reaksi dan Kontestasi Hukum
Gubernur California Gavin Newsom bahkan menggugat kebijakan ini ke pengadilan federal, menilai tarif âsampai 245%â melampaui kewenangan eksekutif dan merugikan 60.000 eksportir kecil asal negara bagian tersebut.
Kelompok bisnis dan Kamar Dagang AS mengkritik kenaikan drastis ini, memperingatkan lonjakan biaya produksi dan risiko PHK massal, terutama di sektor otomotif dan teknologi.
đ Dampak Global dan Rantai Pasok
Kenaikan mendadak hingga sekitar 250% berpotensi mengguncang rantai pasok global. Perusahaan multinasional yang bergantung pada komponen Chinaâseperti Tesla, Apple, dan Intelâdiingatkan untuk mencari sumber alternatif atau memindahkan lini produksi.
Analis di Eurasia Group memperkirakan bahwa ketidakpastian ini akan menggeser investasi jangka panjang ke Asia Tenggara dan India, membawa implikasi geopolitik bagi penguatan blok ekonomi baru di kawasan.
Sementara itu, konsumen AS sudah merasakan kenaikan harga barang elektronik dan otomotif; beberapa peritel besar memperingatkan inflasi tahunan CPI bisa naik 0,2â0,3 poin persentase akibat tarif tinggi ini.
đ Prospek Negosiasi dan WTO
Beijing mengancam akan membawa kasus ini ke WTO, menuding AS melanggar prinsip perdagangan multilateral.
Sejumlah negara mitra juga mempertimbangkan langkah serupa untuk menahan laju âdecouplingâ AS-China yang dianggap terlalu ekstrim, sesuai laporan The Guardian Weekly.
Negosiasi bilateral masih buntu, dan pemilu AS 2025 akan menjadi penentu apakah kebijakan tarif ini akan berlanjut, dilunakkan, atau diarahkan ke skema multilateral.
đ Kesimpulan
Rencana menaikkan tarif impor China hingga 250% menandai puncak eskalasi perang dagang kedua Trump administration. Langkah ini membawa konsekuensi luas: beban biaya bagi produsen dan konsumen AS, gangguan rantai pasok global, serta perlawanan hukum dan diplomatik dari Beijing dan negara sekutu. Ke depan, hasil negosiasiâbaik di WTO maupun di panggung politik domestik ASâakan menentukan arah hubungan ekonomi dua kekuatan terbesar dunia.
Komentar
2 komentar