angginews.com Dunia sedang berada di titik kritis dalam sejarah energinya. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil telah menimbulkan dampak lingkungan yang luas, mulai dari pemanasan global hingga polusi udara. Dalam konteks ini, pertanyaan penting pun muncul: bahan bakar masa depan akan berbasis hidrogen atau listrik?
Kedua teknologi ini, baik hidrogen maupun listrik, sama-sama menjanjikan solusi bersih untuk sektor transportasi dan industri. Namun, masing-masing membawa kelebihan, tantangan, serta arah pengembangan yang berbeda. Maka dari itu, mari kita telaah lebih dalam, dengan melihat berbagai aspek teknis, lingkungan, hingga infrastruktur, agar kita bisa memahami ke mana arah dunia bergerak.
1. Kendaraan Listrik: Sang Pionir Revolusi Energi
Tidak dapat dimungkiri, mobil listrik (electric vehicle/EV) sudah lebih dahulu menguasai pasar kendaraan ramah lingkungan. Dipopulerkan oleh perusahaan seperti Tesla, BYD, dan kini hampir semua merek besar otomotif, kendaraan listrik menjadi simbol masa depan yang lebih bersih.
Keunggulan utama mobil listrik adalah:
-
Efisiensi energi yang tinggi, di mana konversi listrik ke energi gerak bisa mencapai 85–90%.
-
Infrastruktur pengisian daya yang makin berkembang, khususnya di negara maju.
-
Pengurangan emisi karbon jika listrik bersumber dari energi terbarukan.
Namun demikian, ada pula kelemahan yang tak bisa diabaikan:
-
Waktu pengisian daya masih relatif lama dibanding pengisian BBM.
-
Baterai lithium-ion memiliki siklus hidup terbatas dan menimbulkan masalah lingkungan saat daur ulang.
-
Produksi baterai memerlukan penambangan logam langka seperti litium, kobalt, dan nikel yang punya dampak sosial dan ekologis.
Meskipun begitu, popularitas EV terus meningkat. Bahkan, beberapa negara seperti Norwegia dan Belanda sudah mengumumkan target pelarangan penjualan mobil bensin dan diesel dalam satu dekade ke depan.
2. Hidrogen: Harapan Baru dengan Tantangan Besar
Sementara itu, hidrogen muncul sebagai pesaing kuat dan penuh potensi. Bahan bakar ini tidak menghasilkan emisi karbon saat digunakan, melainkan hanya menghasilkan uap air. Teknologi ini banyak diaplikasikan dalam kendaraan fuel cell (FCEV), seperti Toyota Mirai dan Hyundai Nexo.
Beberapa keunggulan utama hidrogen antara lain:
-
Pengisian daya sangat cepat, mirip dengan mobil konvensional.
-
Jarak tempuh lebih jauh, menjadikannya ideal untuk kendaraan berat seperti truk, bus, dan pesawat.
-
Tidak bergantung pada logam langka, sehingga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Namun, di balik potensinya, hidrogen menghadapi berbagai tantangan serius:
-
Produksi hidrogen bersih (green hydrogen) masih mahal dan boros energi, karena memerlukan elektrolisis air dengan listrik dari sumber terbarukan.
-
Distribusi dan penyimpanan hidrogen memerlukan infrastruktur khusus karena sifatnya yang mudah terbakar dan sulit dikompresi.
-
Efisiensi keseluruhan dari produksi hingga pemakaian hanya sekitar 30–40%, jauh di bawah kendaraan listrik.
Dengan kata lain, meski secara teori sangat menjanjikan, hidrogen membutuhkan investasi besar dalam riset dan pembangunan infrastruktur.
3. Mana yang Lebih Ramah Lingkungan?
Kedua jenis bahan bakar ini memang bebas emisi saat digunakan. Namun untuk menentukan mana yang lebih ramah lingkungan, kita perlu melihat dari hulu ke hilir.
Mobil listrik baru benar-benar hijau jika listrik yang digunakan berasal dari sumber terbarukan seperti surya atau angin. Jika masih berasal dari batu bara atau gas alam, maka jejak karbonnya masih tinggi.
Hidrogen, bila diproduksi secara “hijau” (dari air dan energi terbarukan), bisa jadi lebih bersih. Sayangnya, sebagian besar hidrogen saat ini masih diproduksi dari gas alam (grey hydrogen), yang justru menghasilkan CO₂ dalam jumlah besar.
Dengan demikian, konteks regional sangat penting. Negara dengan grid listrik hijau akan lebih diuntungkan dengan EV, sedangkan negara dengan akses energi terbarukan yang besar bisa mendorong produksi hidrogen hijau.
4. Infrastruktur: Siapa yang Lebih Siap?
Di sinilah kendaraan listrik unggul jauh. Infrastruktur charging station sudah tersebar luas di kota-kota besar, bahkan di banyak jalan tol dan pusat perbelanjaan. Konsumen pun mulai terbiasa dengan konsep mengisi daya di rumah.
Sebaliknya, infrastruktur hidrogen masih sangat terbatas. Membangun stasiun pengisian hidrogen membutuhkan biaya tinggi dan keamanan ekstra. Oleh karena itu, penggunaan hidrogen saat ini lebih difokuskan ke sektor-sektor industri berat dan transportasi logistik.
Namun demikian, bukan berarti hidrogen tertinggal selamanya. Beberapa negara seperti Jerman, Korea Selatan, dan Jepang telah membuat peta jalan ambisius untuk hidrogen, termasuk target jumlah kendaraan FCEV dan stasiun hidrogen pada 2030.
5. Mana yang Lebih Ekonomis dalam Jangka Panjang?
Saat ini, kendaraan listrik cenderung lebih murah dari sisi operasional karena biaya pengisian dan perawatan rendah. Harga awal pun makin turun berkat skala produksi yang besar dan subsidi pemerintah.
Di sisi lain, kendaraan hidrogen masih tergolong mahal. Ini disebabkan oleh teknologi fuel cell yang belum efisien secara biaya, serta harga hidrogen yang masih tinggi karena keterbatasan produksi.
Namun, dalam jangka panjang, biaya hidrogen bisa turun drastis seiring berkembangnya teknologi elektrolisis dan ekonomi skala. Bila itu terjadi, FCEV bisa jadi kompetitor serius EV, terutama untuk sektor transportasi jarak jauh.
6. Masa Depan: Bersaing atau Berbagi Peran?
Melihat dinamika yang ada, kemungkinan besar masa depan energi akan bersifat hibrida. Tidak ada satu teknologi yang menjadi solusi tunggal untuk semua kebutuhan.
-
Kendaraan listrik akan mendominasi mobil pribadi dan perkotaan.
-
Hidrogen akan memainkan peran penting dalam truk, kapal, kereta, dan industri berat.
-
Teknologi plug-in hybrid juga akan tetap eksis sebagai jembatan sementara.
Yang jelas, dunia sedang menuju transisi besar. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat penting agar teknologi ramah lingkungan ini bisa berkembang maksimal dan merata.
Kesimpulan
Pertarungan antara hidrogen dan listrik tidaklah tentang siapa yang menang atau kalah, melainkan siapa yang lebih cocok untuk kondisi tertentu. Listrik menawarkan efisiensi dan kesiapan pasar, sedangkan hidrogen menjanjikan potensi jangka panjang untuk sektor yang lebih berat dan kompleks.
Ke depannya, kombinasi dari keduanya bisa jadi solusi paling realistis dan berkelanjutan. Maka, daripada memilih salah satu, lebih baik kita mendorong inovasi pada keduanya agar masa depan energi dunia lebih bersih, efisien, dan merata.
baca juga : Liputan Malam
Komentar